Isnin, 15 Mac 2010

Paedopilia

(Cerpen ini telah disiarkan dalam majalah Dewan Kosmik terbitan Karangkraf Sdn Bhd dan telah diantologikan dalam antologi Rien Piranha)

SMAHADZIR 

GDUNBRAK! Gdubruk! Prang!!!! Suara bingar dari dapur membangunkan refleksi Pak Asyi. Dia bangkit dan bergegas menuju ke arah suara dengan mata sedikit nanar. Setibanya di mulut pintu dapur, Pak Asyi berdiri awas dan menjulurkan kepala menatap dapur yang sudah berantakan seperti kapal tua yang baru kalah perang. Periuk nasi sudah terbalik, di lantai nasi berserakan, kuali belum terbalik tapi di dalamnya minyak goreng dan nasi sudah bercampur, dan dapur masak terdorong ke hujung kotak pencuci. Di bawah kotak pencuci sepintas kelihatan titik-titik genangan minyak tanah. Diliriknya rak piring; ada pecahan piring di lantai, mungkin tiga atau empat piring yang jatuh.

Seketika hatinya panas terbakar amarah. Tapi dia masih punya sisa-sisa naluri kehidupan normal. Dengan perlahan-lahan, sambil tetap awas mengamati setiap sudut dapur, dia raih sebilah parang yang selalu terselit di bawah tikardekat pintu dapur.

Sebaik parang panjang digenggamannya, dia melesat ke tengah dapur, berdiri di samping meja makan, posisi yang menurut nalurinya sesuai untuk menyerang dan sekali gus memberi ruang gerak untuk mundur beberapa langkah, jika diperlukan, sebelum melancarkan serangan balas. Parang dihunusnya tegak ke atas, dan dia merasakanya tangannya lebih ringan, sedia melibas bebas ke kiri, kanan, muka atau berbalik cepat ke arah belakang.

Aliran darahnya terasa naik ke otaknya. Sudah lama dia kehilangan perasaan seperti ini. Perasaan awas, marah, tapi sekali gus ringan seperti dia tidak punya badan lagi, tidak akan merasakan apa-apa lagi yang ditusukkan atau dibebatkan ke badannya.

“Sedia! Siapa yang berani ganggu aku. Keluar!” Sambil berteriak, dia mengacung-ngacungkan parang ke segala arah, menebas angin kosong. Sorot matanya begitu tajam mengiris malam yang kian dingin. Tapi tidak ada suara, tidak ada gerakan, tidak ada bau. Pak Asyi merasa makin tertantang.

“Aku kata keluar! Keluar!” jerit Pak Asyi sekali lagi.

Sempat hening beberapa detik, dan Pak Asyi menarik nafas dalam untuk menjerit lebih keras lagi, terdengar gerak langkah yang halus dari bawah kolong kotak pencuci. “Meooong...,” seekor kucing belang kurus mengangkat kepalanya, menatapnya terus ke matanya, meminta belas kasihan.

“Haram jadah! Rupanya kucing busuk. Aku sangka penyamun atau penyangak, atau perompak yang perlu aku habiskan!” katanya sedikit lega tapi masih berbau kemarahan. Tapi bagaimanapun aku harus memberi pengajaran terhadap semua pengacau, makhluk apa pun, putusnya di dalam hati. “Aku tidak pernah memberi ampun. Termasuk kucing sekali pun,” katanya perlahan tapi tegas.

Si kucing belang kurus bergerak mundur satu langkah. Mata tajamnya tetap menusuk mata Pak Asyi. Naluri Pak Asyi bekerja cepat dan sebelum kucing belang kurus hilang ke bawah kotak pencuci, dia gesit sergap si kurus belang tersebut. 

“Meoong,” pekik si kurus belang, dengan mata masih menusuk mata Pak Asyi, yang merasa puas mengenggam ekor kucing.

Si belang kurus terapung di udara di cengkaman tangan kiri, sedang parang di tangan kanan. Dia tiba-tiba merasa seperti Tuhan yang menentukan nyawa makhluk hidup. Kalau satu tebasan parang matilah si kucing, mati dengan kepala putus atau perut terburai. Tatapan tajam mata kucing belang kurus dilawannya lebih tajam lagi. Dikerutkan keningnya untuk mengecilkan mata, memfokuskan sorot mata ke mata kucing belang kurus tersebut.

“Meooong! Meong! Ampun, Tuan! Ampun! Jangan sakiti aku. Kumohon...” Pak Asyi terkejut dan gesit melepas kucing belang kurus.

“Aku mohon ampun, Tuan! Aku tidak berniat mengusik tidur, Tuan! Aku hanya perlu makanan. Aku lapar benar, sudah lima hari perjalanan tanpa makan apa-apa.” Si kurus belang terus merayu belas kasih di hadapan kaki kiri Pak Asyi sambil menggerak-gerakkan kepalanya ke atas ke bawah.

Kelakuan ini membuatkan kucing kengerian, makin mendidih Pak Asyi. Dia pernah menghadapi tiga orang sekali gus dengan belati di suatu tempat. Walau lengan atasnya tersabet samurai, tapi dua musuhnya terkapar kena tusuk belati dan satu orang lari lintang-pukang. Dia juga pernah dibelasah lima orang polis sampai tercungap-cungap; hidungnya patah, jempol kakinya remuk kena hujung kaki kerusi yang diduduki, telinganya berdarah dihentam gagang pistol. Tapi binatang yang bersuara, yang meminta belas kasih belum pernah ditemuinya, belum pernah didengarnya.

“Kau! Kau binatang atau apa? Kau makhluk apa? Kenapa kucing boleh bercakap....” Muka Pak Asyi pucat seperti kertas, badannya menunduk melengkung ke belakang dan tidak terasa dia mundur beberapa langkah sampai punggungnya menabrak meja makan di belakang. Titisan keringat dingin minitis dari jidat ke alis matanya.

Melihat Pak Asyi mundur, si kucing belang semakin berani. Dengan tenang dia melompat ke meja makan, Pak Asyi sempat menggeser badannya ke kiri memberi ruang lebih banyak kepada si kucing yang duduk di atas meja makan menghadap Pak Asyi.

“Aku si belang, dari perkampungan kucing. Beberapa waktu lalu aku hidup tenang dengan sejumlah kucing lain yang juga mampu bercakap seperti manusia. Hingga... hari khilaf itu memaksa aku meninggalkan perkampungan kucing.”

Si belang menjilat kaki kanannya lalu menggosok-gosokkan ke mukanya. Dia sudah tenang dan membersihkan badannya sementara Pak Asyi masih tercenung takjub. Rasa takutnya berkurang, tapi dia tetap waswas. Digosoknya kedua matanya dan cepat digelengkan kepalanya beberapa kali untuk memastikan di hadapannya seekor kucing memang sedang bercakap.

“Aku khilaf telah memperkosa anak kandungku sendiri. Kucing kecil yang dilahirkan isteriku. Oh, aku sungguh-sungguh menyesal telah melakukan kebejatan semacam itu. Aku tolol!” Kucing itu memukul-mukul kepalanya dengan kaki kanannya. “Meoooonggggg..” pekik si belang kurus sambil mengangkat kepalanya, seperti anjing yang melolong.

“Diam!” tengking Pak Asyi.

“Meooonggggg,” balas belang, “Hidupku terkutuk, aku mahu bunuh diri saja, bunuh aku. Ambil parangmu dan cantas kepalaku. Cepat. Meooongggg!!!!”

“Diam! Diam! Diam!” tengking Pak Asyi lebih keras lagi.

Kucing bersuara sudah cukup membuatkan dia setengah gila dan teriakan kucing di tengah malam membuatkan dia semakin gila. “Diam! Diam! Diam kau!!!!” kata Pak Asyi lebih perlahan sambil membuang parangnya ke arah kotak pencuci. Gdubrak!
Kucing belang kurus itu terperanjat dan diam. Pak Asyi kembali mengawal diri, keluar dari ketercenungannya. Ditariknya kerusi makan dan dia duduk melunjurkan kakinya. Tapi si belang kembali memukul-mukul kepalanya dengan kakinya.

Pak Asyi cepat menangkap kaki si belang dan mengancam “Kupotong nanti kakimu!”

“Ya bunuhlah aku, cantaslah leherku.”

“Kuremukkan kaki kanan hadapanmu ini dan kubiarkan kau hidup dengan tiga kaki kalau kau tidak mahu diam,” kata Pak Asyi mencengkam kuat kaki si belang kurus.

“Baik, baik,” kata si belang menarik kakinya perlahan-lahan dan membaringkan badannya, menghadap Pak Asyi tapi tidak lagi menatap setajam tadi. Hanya sorot mata kucing kesepian yang lelah, lapar, putus asa.

“Sudahlah,” kata Pak Asyi kembali, melemparkan pundaknya kembali ke sandaran kerusi sambil mengeluh panjang. “Ahhhhh.”

Si belang mengangkat kepalanya sedikit, hairan.

“Aku juga diusir dari kampung kerana perkara yang sama. Memperkosa anak kandung sendiri. Jadi kita senasib, kawan!” kata Pak Asyi terburu-buru seperti ingin melepaskan beban yang amat berat secepat mungkin. Si belang kurus melengos ke kanan, menghindar dari wajah Pak Asyi, seolah-olah ingin membantu mengurangi beban orang tua terkuutk itu.

Tiba-tiba Pak Asyi meghantukkan kepalanya ke atas meja, mengangkat kedua tangan ke belakang kepalanya dan menangis terisak-isak. Si belang mendekat, menjilat kening Pak Asyi. Lembut. Pak Asyi mengangkat kepalanya, memeluk si belang kurus.

“Terima kasih kawan, tinggallah bersamaku.”

* * *

Selasa, tanggal 13 Februari 2013. Akhbar Berita Harian memaparkan berita utama ‘Satu Lagi Paedopilia Mati Diterkam Harimau.’ Radio FM ke udara dengan laporan khusus jam sembilan pagi, terus dari tempat kejadian.

‘Kedua biji mata Pak Asyi tercungkil dan polis belum menemukan kedua biji mata itu. Mulutnya terbuka lebar seolah-olah menahan sakit yang amat sangat. Pakar forensik dari jabatan polis menjelaskan rasa sakit itu mungkin ketika ususnya tumpah terburai.’

Akhbar Harian Metro edisi Kuala Lumpur memaparkan berita dengan daftar para paedopilia yang mati dicabik-cabik harimau. ‘Lapan belas paedopilia mati dalam waktu sekitar dua bulan, dan polis masih mengatakan semua kejadian sedang dalam siasatan,’ seperti tertulis di muka pertama akhbar Utusan Melayu yang berjudul ‘Masih Misteri.’

* * *

Rabu, tanggal 14 Februari 2013, Pukul 21.48, di Jalan Kenari 5 No 12. Wan Usfan baru saja mahu menyambungkan internet di ruang kerjanya. Tiba-tiba terdengar suara bising di ruang tamu rumahnya. Gdubrak! Gdubruk! Prangg!!!!!

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ASMAUL HUSNA