Isnin, 15 Mac 2010

Mimpi Walmana

(Cerpen ini telah disiarkan dalam majalah Sinar Rohani terbitan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dan telah diantologikan dalam antologi Jihad)

SMAHADZIR 

DALAM renjisan ilam bulan, dalam kerdip miang buruj bergantungan, geliang-geliut dansa itu menggelinyang. Sorai sorak pecah bersipongang, menggigir ruang penjara wilayah yamassa. Wilayah hebat, wilayah indah, antara wilayah terakhir di penghujung horizon. Aqli terkujur rengsa di celah onggok-onggok aroma serbat ijajil, terapung ditandu kepak-kepak kulimbambang yang gepeng dan mudah lopong.

Masya-Allah! Cepat dia bingkas.

“Hei, kenapa? Kenapa buru-buru bingkas?”

Cengang dua kerabat memantul beliak menyelinap mencumbu merlip-merlip ruang berkabut. Di luar penjara, langking malam kian berinsut pudar. Wilayah yamassa galak menyingkap hijab. Penghuni penjara semakin ghairah menggelinyau bermandi merlip ruang kuning keemasan.

“Siapa kamu. Datang tidak diundang menggugah nyedar tidurku?”

“Aku walmana!”

“Kenapa kamu ke mari?”

“Untuk memaksamu berfikir!”

“Memaksa aku berfikir?”

“Ya, memaksa kamu berfikir dengan akalmu, Aqli!”

“Apa yang harus aku fikirkan dengan akal itu?”

“Jumlah hari kamu dipenjara!”

Ilai bingar menyergah sentak. Melerai mimpi walmana. Aqli kelinglungan, menyambar tunak kulimbambang menggeletek miang di sebalik kilatan-kilatan kepaknya yang sudah lopong, aroma pesona memantul-mantul, berkitar-kitar ke segenap ruang.

“Mahu aku menandumu ke puncak rambulan?”

Pipi dibelai telapak lunak. Gerbak bauran bunga-bungaan tajam menusuk hidung. Kulimbambang berkepak gepeng, menggelinyang menyendel-nyendel gunung gemunung. Menggelek-gelek abdomen melontar gelecak goda menggugah imamat.
“Atau bersamaku memetik bintang kejora di langit biru?”

Subhanallah! Lekas dia berpaling.

“Hitungkan jumlah hari kamu dipenjara!”

“Di mana aku harus bermula?”

“Bermula dari penjara wilayah sabwah, wilayah mazmumah, wilayah maudhuk dan wilayah akhir ini!”

Aqli terkedu. Dada menggelepar mengimbau ingatan silam yang hampir sebam. Bilah-bilah waktu kian melenyap mengetuk-ngetuk lawang gelisar.

“Lebih tujuh belas ribu lapan ratus lapan puluh hari! Bukan begitu?”

“Errr…. mana kamu tahu?”

“Tidak perlu kamu tahu dari mana walmana tahu!”

Senyum walmana menyendal nafas. Kitar silir bagai menampar-nampar langking malam. Gebar tidur memantul pijar. Keringat buar menyimbah. Aqli terkedu lagi.

“Begini saja, Aqli! Aku akan menunjukkan kamu jihat ke satu wilayah yang lebih indah dari wilayah-wilayah yang pernah kamu lewati selama ini!”

“Apa kamu tidak berbohong?”

“Walmana tidak pernah berbohong, Aqli!”

“Di mana wilayah itu?”

“Sabar, Aqli! Wilayah itu tidak terlalu jauh dari sini!”

“Aku tidak dapat menahan sabar lagi! Bagai terbayang-bayang keindahan wilayah itu di mataku!”

“Bermakna kamu kian menghampiri cahaya wilayah itu !!”

“Wilayah itu bercahaya?”

“Ya! Bercahaya dengan nur jannah!”

“Lekas! Lekas beritahu aku di mana wilayah itu !!”

“Sabar dulu, Aqli! Walmana boleh memberitahumu segalanya tentang wilayah itu tetapi dengan dua syarat!”

“Cuma dua syarat?”

“Iya!”

“Apa syarat-syarat itu?”

“Syarat pertama: kamu harus melarikan diri dari penjara ini!”

“Apa? Melarikan diri? Bermakna aku harus menjadi pelarian? Begitu maksud kamu?”

“Ya! Kamu harus menjadi seorang pelarian! Apa kamu gelentar dengan pemburuan soldadu-soldadu penguasa wilayah yamassa?”

Hela nafas Aqli panjang dan berat. Kecanggihan mesiu soldadu itu nyalar benar menewaskan musuh. Tepat dan jarang tersasar. Dia sendiri sudah jutaan kali tersungkur di kaki bumi. Namun kilauan nur jannah gesit menegak tekad. Pelarian adalah perjuangan. Perjuangan memerlukan pengorbanan. Perjuangan menuju jihat nur jannah adalah perjuangan yang murni. Pengorbanannya juga adalah pengorbanan yang murni. Gelentar menggigir gesit terpelanting ke rusuk malam disigung geru bingar. Aku tidak gelentar! Aku tidak gelentar!!!

“Hei… hei! Memang kamu tidak pernah gelentar. Tubuhku bisa mengapung kamu ke puncak kayangan! Dan kamu akan terapung-apung di sana!”Mengirai tawa manjanya. “Ayuhlah cepat! Ini obor renjanaku! Sudah tersuar, tidak dapat dibendung lagi. Tidak terlalu lama untuk kita berlabuh di puncak itu!” Kulimbambang berkepak biru menggelecat menyiat-nyiat kepaknya di sebalik gencel tabir yang nipis. Sorai menggelincir tingkah meningkah menyendat ruang penjara.

Ya Allah! Aqli gesit meminggir ke pojok sepi dan terus bertafakur menikmati hira’ diri, membiarkan walmana menyingkap gebar ilusi.

“Pengalaman silam terpenjara lebih tujuh belas ribu lapan ratus lapan puluh hari di wilayah-wilayah itu amat menyiat pedih, Aqli! Memang wajar tidak perlu gelentar dengan buruan soldadu musuh. Mesiu hamburan mereka bisa ditangkis…….”

“Syarat kedua?”

“Tidak sabar ya? Kamu harus polos memilih satu antara tiga turus untuk dipancangkan di watas-watas wilayah-wilayah silam.”

Belangah Aqli tiada upaya dikacip. Cerlungan menunak tiga turus kersani asmaradanta menyandar selajur teguh di bingkai mimpi. Impian nur jannah mengarifkan akal polos memilih turus kersani jati - turus mun’aqidah!

“Aduuuuuuhhhhhhh… tolong aku!!!!!!!”

Alun suara manja akas mencium kuping, menggesa dia bangun. Berkelintar di pojok sepi. Warawiri mencari. Menyelak tabir-tabir pudar yang bergantungan di ruang penjara. Si kulimbambang tadi terapung-apung di bumantara, melontar erang menusuk sukma.

“Tolonggggggg… tolonggggg akuuuuu!!!!”

“Kenapa dengan kamu?”

“Aku… aku kesejukan! Lihat… lihatlah obor renjanaku ini! Terpadam dikitar angin. Cepat… cepat nyalakan kembali, biar tersuar terjulang ke puncak kayangan dan aku pasti, kamu akan turut terapung ke puncak kayangan dengan nyalaan itu nanti!”

“Cissss !! Tak habis-habis dengan renjanamu !!!”

Raung pertama bingar disusul raung kedua lebih menyentakkan. Menggigir ruang penjara. Pusar silir terkedu, mengundang dua kerabat buru-buru menerpa. Gejolak gusar Aqli terus membuar. Turus kersani jati mun’aqidah gesit menusuk, memburai usus berlambakan di lantai penjara. Kulimbambang menggelepar dengan erangan penghabisan bersama obor renjananya yang tidak sempat dinyalakan. Masing-masing ghobar.

“Kenapa kamu bunuh dia, Aqli?”

“Kenapa? Salahkah aku membunuhnya, Nafsi?”

“Dia obor renjanaku!”

“Bagus dan tepat sekali! Aku memang mahu membunuh obor renjanamu! Sudah lama hasrat itu tergantung dan hari ini adalah waktu terbaik dan aku gembira dengan pembunuhan ini!”

“Kamu terlalu kejam, Aqli!”

“Ho, ho, ho! Kamu sekongkol Nafsi rupanya! Hei, Hati! Kamu berhak mengatakan aku kejam. Kejam membunuh obor renjana Nafsi. Tetapi kamu harus ingat, aku berhak membunuh obor renjana milik sesiapa saja! Hatta kamu!”

“Membunuh aku?”Hati terlunga.

“Ya, Hati! Aku berhak membunuh kamu, juga Nafsi, demi memudahkan cita-citaku!”

“Apa kamu lupa kami ini kerabatmu?”

“Ada ketikanya kerabat seperti kamu berdua perlu dihapuskan demi mencapai cita-cita yang lebih murni!”

“Yang pasti, pembunuhan ini akan mengundang hukum bunuh juga ke atas kamu oleh penguasa wilayah yamassa !”

“Bagus! Itu yang aku impikan. Tapi harus diingat, bukan aku seorang saja yang bakal dihukum tetapi kamu berdua juga!”

“Bukan kami yang melakukan pembunuhan ini! Kami sekadar melihat… melihat turus kamu meradak usus kulimbambang itu…”

“Melihat tanpa sebarang usaha menegah atau menghalang adalah subahat namanya. Kamu telah bersubahat denganku di dalam pembunuhan ini dan wajarlah menerima hukuman yang sama denganku!”

Hati dan Nafsi tercenung penuh sentak.

Aqli sudah jauh meninggalkan. Turus waja besi kersani mun’aqidah kejap tergenggam di tangan. Tekad membundar, meredah penuh semangat menyusur jihat itu, berliku, berduri, beronak, sarat dengan batu-batu kerikil sepanjang jalan. Bagaikan sudah terbayang wajah walmana yang akan menunggu di wilayah itu, menggamit-gamit dan tersenyum di celah gunung gemunung.

“Aku akan menunggu kamu di sana. Datanglah! Dari situ, aku akan tunjukkan jihat kiblat dan perjalanan kamu tidak terlalu jauh untuk tiba di wilayah Al-Rab. Di wilayah itulah kamu akan temui segalanya!”

Langkah Aqli semakin cepat, membelah kabut waktu dengan kelajuan lancar tidak tersekat. Silir berpusar di sekitar. Gerbang Al-Rab serasa kian mendekat. Turus mun’aqidah di tangan akan dipancangkan di pintu gerbang wilayah itu.

“Tungguuuuu !!!”

Aqli menoleh cepat. Hati buru-buru menguntit.

“Tunggu, Aqli! Lelahku merengsakan seluruh jasad. Kamu terlalu gesit meninggalkan kami.”

“Huh, mana Nafsi? Mana dia hah?”

“Dia jauh ketinggalan di belakang sana!”

“Terlalu asyik barangkali!”

“Benar, sewaktu kami berdua melewati wilayah maudhuk tadi, dia singgah di situ. Berkali-kali aku menegah, namun dia terlalu degil. Nafsi telah tergoda oleh gerbak pesona renjisan kulimbambang yang cantik menawan di situ.”

“Dia akan rasa penanganku nanti!”

“Kita tunggu di sini saja!”

Aqli mendengus panjang lalu mencangkung di naung raksamala tembun dengan wajah jerau mencuka. Hati turut menyandar menghela nafas menyisih cangip yang menyerang dada. Kelitar mata berselerak mencari Nafsi. Kenapa terlalu lama sangat hah? Apakah dia sudah ditawan semula soldadu wilayah yamassa? 

Kebimbangan meraja di hati. Mentari kian mencanak, menyiram molekul pijar ke ruang maya. Aqli bingkas dari cangkung, mengintai celah-celah kitar angin. Mana Nafsi? Mana dia pergi? Gelodar rasa amat menghenyak. Wilayah itu perlu ditandangi sebelum mentari meninggi. Begitu pesan walmana.

Resah menanti, dari hujung lorong sempit, Aqli mencerlung tunak Nafsi longlai mengatur langkah. Tangan gagah merangkul erat kulimbambang cantik melentuk di pundak. Aroma serbat ijajil tajam menyendal nafas kala mendekat dan menyeringai besar. Tengik bau serbat itu cepat benar menggelincir mengapung dikitar silir.

“Kamu terapung di wilayah itu lagi?”

Nafsi mengerisin, meleleh-leleh air liur. Mengundang gelodar buar dada Aqli.

“Sudah aku katakan, kita perlu cepat sebelum busar mentari memijar,” Aqli membuak gusar. Membuncah-buncah.

“Maaf, langkah kakiku tersasar tadi!” Nafsi mengerisin lebar. “Lalu tersesat di lorong sempit. Sukar melolos diri. Lantaran itu aku lambat tiba di sini!”

“Hmm, begitu ye! Di mana kamu tersasar?” Mata Hati terjegil.

“Err… di wilayah maudhuk… wilayah maya… apung-apungan…!” Kerisin Nafsi lebih lebar. Kulimbambang menggeletek di sisi. Aroma serbat ijajil kian berkitar-kitar.

“Huh, tidak jenuh-jenuh kamu ye?” Aqli mendengus kuat melihat Nafsi terlentang dengan buakan busa-busa hanyir berlambakan seraya menghembus asap penumbuk yang berkelun ke bumantara.

“Ma… ma… maafkan aku…”

Kalimat Nafsi tercantas terus oleh hayunan tapak kaki gabai ke muka. Bingar suara geru melangsing. Kulimbambang bercempera. Hati menggigir melihat wajah Aqli serlah jerau.

“Itu habuan wajar untuk kamu. Kamulah yang nyalar menggagalkan segala usahaku,” Aqli melampias jengkel. “Ribuan kali sudah aku katakan. Kita harus cepat ke wilayah itu. Walmana sedang menunggu sebelum mentari meninggi tapi kamu terlalu ketegar. Aku amat mendidih dengan kerenah kamu!”

“Sudah Aqli, sudah!” Hati penyabar. “Ayuh, kita teruskan perjalanan!”

Wilayah apa ini? Nihil. Gurun tandus. Sepi silir karar. Tanah kontang. Cakerawala kirmizi. Onggok-onggok kabur bertabur. Bumantara menggigir digusut pijar mentari membuak ubun. Sejak dulu, lebih tujuh belas ribu lima ratus hari tercangip warawiri mencari jihat itu. Sehingga tiba di wilayah ini. Wilayah apa ini? Tidak persis wilayah-wilayah silam yang jenuh dilewati. Kepada siapa mahu ditanya wilayah apa ini? Seribu kali ditanya pada Nafsi, jawapannya gelengan mangli. Beribu kali ditanya pada Hati, jawapannya bungkam sepi. Beribu-ribu-ribu kali ditanya pada diri, terangkat pundak sendiri. Mahu ditanya pada walmana? Mana walmana? Mana walmana???

“Ya, mana walmana? Mana walmana, Aqli?”

“Dia ada di sini! Dalam mimpiku walmana ada di sini!”

“Barangkali kamu sudah tertipu dengan mimpi walmana, Aqli!”

“Tidak Hati! Aku tidak pernah ditipu oleh mimpi walmana. Walmana akan menunggu kita di wilayah ini untuk menunjukkan jihat itu.”

“Habis, mana walmana?”

“Sabar, walmana ada di wilayah ini. Aku pasti, dia akan muncul menunjukkan kita jihat itu. “Percayalah!”

“Ahhh… aku sudah dihenyak jenuh, Aqli! Sudah lebih seratus hari kita terkitar di wilayah ini namun walmana itu belum lagi menjelma. Sampai bila kita harus warawiri begini, hah? Sampai bila? Aku tidak sanggup lagi bertahan. Wilayah ini wilayah jelek, wilayah sepi dan wilayah mimpi yang tidak sengoti dilewati.”

“Ini bukan wilayah mimpi, Nafsi! Ini wilayah realiti. Kita harus melewati wilayah realiti untuk memadamkan jejak-jejak silam di wilayah ilusi.”

“Ahhhh… kita pulang saja ke jihat ghurub sana! Jelakku membuar amat di wilayah ini. Ayuh, ayuh kita berpatah balik…”

“Benar kata Nafsi itu! Ayuh kita berpatah balik ke wilayah sabwah!”

“Apa katamu? Berpatah balik ke wilayah bolong itu? Wilayah sabwah yang kohong, sarat dengan bejat itu?”

“Ya, wilayah itu lebih harmoni, tiada bahang mentari mencokot begini. Wilayah sabwah subur dengan tanah-tanah yamassa. Aku rindukan kesuburan tanah-tanah itu. Ayuhlah… ayuh kita tinggalkan wilayah gersang ini.”

“Tidak Nafsi! Tidak Hati! Tidak sekali-kali aku mahu berpatah balik ke jihat ghurub itu , ke wilayah silam itu!”

“Tapi, lebih baik dari meraban warawiri begini!”

“Barangkali kamu berdua sudah lupa turus mun’aqidah kita di watas wilayah itu?”

“Tusukan turusku amat cangkat, Aqli! Mudah dihogeh dan dicabut dari rahang tanah.”

“Tapi kamu harus ingat, ianya sudah tumbuh menjadi pohon istikrar, berakar dan berumbi. Menjalar kejap ke tujuh petala bentala. Kini sudah berbuah nasuha.”

“Itu turusmu, bukan turusku! Turusku turus laghwu!”

“Apa, Nafsi? Turus laghwu?”

“Ya, turus laghwu!”

“Bagaimana dengan turusmu, Hati?”

“Turusku turus ghamus, Aqli!”

“Jadi, bukanlah turus mun’aqidah seperti yang aku sangkakan selama ini?”

Nafsi dan Hati terdiam.

“Kamu berdua telah menipu rupanya! Aku menyangkakan kamu telah memancang turus mun’aqidah, rupanya turus laghwu dan ghamus! Aku amat kesal dengan kamu berdua. Tidak habis-habis mahu menyusahkan aku!”

Nafsi dan Hati terus diam. Masing-masing merunduk.

“Jadi, kamu mahu berpatah balik juga ke wilayah itu? Kamu mahu terus tercangip dipeluk dibelai bolong dan kohong itu?

“Ya!”

“Hei Nafsi! Wilayah sabwah itulah wilayah asal kita terlandai dan tergelincir ke gaung ammarah. Lihat akhlakmu itu, Nafsi! Bekas robekan dari hentakan batu pejal kala kita tergelincir ke gaung itu membuatkan tubuh akhlakmu parah terkucel lebih dua belas ribu tujuh ratus tujuh puluh lima hari!

Diam.

“Hah, kau Hati! Apa kamu sudah melupakan betapa mertabatmu turut berkecai di gaung itu? Dikitar-kitar dan dicaing-caing oleh batu pejal di situ!”

Diam juga.

“Siapa yang merawatnya? Bukankah aku yang merawat kamu berdua? Aku melupakan kamu kepada gaung itu dengan rawatan muhasabah? Aku yang menghadiahkan penawar berupa turus mun’aqidah untuk dipancangkan di watas wilayah-wilayah kohong dan bejat itu!”

“Tapi, tubuh kamu juga turut tersiat di gaung itu!”

“Benar, Nafsi! Memang benar tubuhku pernah tersiat di gaung itu.”

“Akhlak kamu juga turut parah, bukan?”

“Itu juga benar, Hati!”

“Kita bertiga sama saja, Aqli! Jadi, apa lagi yang mahu kamu ungkitkan? Lagipun, bukankah segala keparahan dan kepincangan itu satu tuntutan warga wilayah sabwah? Dan kamu juga antara warganya yang telah berjaya di dalam tuntutan itu? Kamu lebih parah dalam akhlak dan mertabat, Aqli! Betul bukan?”

“Benar segalanya! Memang aku akui itu semua tapi kamu harus sedar. Aku terdorong oleh helaan kamu semua juga. Kamu, Nafsi dan Hati nyalar mengalahkan aku sehingga aku kecundang oleh helaan kalian. Tapi, aku cepat bingkas dari dunia lagha itu. Aku berusaha mencari penawar dengan bermuhasabah. Akhirnya aku menemuinya dengan turus mun’aqidah dan sudah kuagih-agihkan kepada kamu berdua, bukan?”

“Hmm, kamu mengaku juga ye! Kalau begitu akur saja kataku. Ayuh cepat ikut langkah kakiku pulang ke wilayah sabwah!”

“Tidak, Nafsi! Kini aku tidak lagi akan terdorong oleh helaanmu. Aku kini adalah Aqli perkasa yang berturus nasuha. Aqli kini setia menunggu walmana untuk menuju ke jihat itu.”

“Huh, muak aku! Lagi-lagi walmana! Lagi-lagi walmana! Mana walmana itu? Mana? Tunjukkan pada aku mana walmana itu?”

“Walmana itu ada di sini. Di wilayah ini. Dia akan muncul untuk memandu kita ke jihat itu. Percayalah!”

Silir terus berkabut. Nafsi dan Hati menggelinyang di bawah tusukan mentari. Aqli gagah menghayun langkahnya menentang gelora membelah bingkai pijar ke naung gunung gemunung. Nur jannah berkilauan menjulang dari puncak gunung. 

Bayangan wajah jihat kiblat yang diimpikan sekian lama bergentayangan. Mana walmana? Mana walmana? Aku datang kepadamu. Tunjukkan aku jihat itu!

Nafsi dan Hati semakin ligat menggeletek bermandi impian silam. Keayuan wilayah maudhuk, keindahan wilayah sabwah, kenikmatan wilayah mazmumah, kesuburan tanah-tanah yamassa dan keseronokan diapung silir di puncak kayangan. Menghela-hela kerinduan, menggelodar keinginan.

“Hei Hati! Apa kata kalau kita lari dari sini!”

“Lari? Lari ke mana?”

“Kita ikut jihat masyhrik!”

“Ke wilayah mazmumah?”

“Ya!”

“Maaf Nafsi! Aku mahu mengikut Aqli menyusur jihat kiblat!”

“Ahhh… cepat benar kamu berubah.”

“Sejak tadi aku sudah bertekad tidak mahu kembali lagi ke wilayah silam, Nafsi! Aku ingin bersama Aqli ke wilayah Al-Rab. Aku dapat rasakan ketenangan, kedamaian, keindahan dan segalanya yang ada di wilayah yang tidak pernah kita lewati itu. Silir yang menerpa tubuhku sekarang seolah-olah datang dari wilayah itu. Apakah kamu tidak dapat mengesannya?”

“Jangan mudah terpedaya dengan pembohongan Aqli, Hati! Kalau kamu dapat merasakan kebenarannya, aku pula dapat merasa pembohongannya.”

“Apa maksud kamu?”

“Tidak mungkin akan ada lagi wilayah yang lebih indah, cantik, tenang, damai dan 
segalanya dari wilayah-wilayah yang pernah kita lewati dulu. Cuba kamu ingat kembali kesuburan tanah-tanah yamassa di jihat ghurub. Tidakkah kamu rindukan bunga-bunga yang mengelopak seri, cantik menawan di wilayah itu? Tidakkah kamu masih terliur dengan buah-buah ranum mungil yang manis bersarinya di sana?”

Hati diam.

“Bayangkan pula wilayah maudhuk dan yamassa yang kaya dengan kulimbambang berwarna-warni. Bukankah kamu pernah dibawa terbang kulimbambang itu ke puncak kayangan? Bukankah kamu nyalar pernah diiring mendaki tangga bumantara untuk mencapai rambulan di wilayah itu? Dan lagi, tidakkah kamu rindukan kipasan sayapnya yang dingin, membuai tidur malam sehingga terlantun ke mahligai bidadari?”

“Aku masih ingat semua!”

“Bagus! Jadi, kenapa harus dilenyapkan begitu saja dari diri?”

Hati mengeluh berat dan rengsa.

“Kamu berbelah bahagi?”

“Entahlah, Nafsi!”

“Usah banyak berfikir lagi, Hati! Mari ikutku melarikan diri dari sini. Kita hidup di wilayah-wilayah itu buat selama-lamanya dalam keindahan, kenikmatan, keseronokan dan sebagainya. Ayuh, jangan buang masa lagi…”

“Tunggu dulu Nafsi!”

“Tunggu apa lagi, Hati!”

“Tunggu untuk mendengar kata-kataku pula!”

“Apa lagi yang mahu kamu katakan? Bukankah hujah-hujahku tadi cukup lengkap dan sempurna untuk kita kembali ke wilayah-wilayah silam?”

“Memang lengkap dan sempurna sehingga aku hampir-hampir termakan oleh gizi yang kamu luahkan!”

“Jadi, mahu apa ditunggu lagi?”

“Dengar pula hujahku sebelum kita pergi!”

“Hmmm… begitu, baiklah!”

“Tidakkah kamu pernah menghitung jumlah hari yang kita lewati di wilayah-wilayah silam itu selama ini? Tidakkah kamu sedar apakah manfaat yang kamu dapat hasil dari menggelinyang penuh kenikmatan di sana?”

Nafsi diam.

“Lebih tujuh belas ribu lapan ratus lapan puluh hari kita warawiri tanpa tujuan pasti, tanpa sebarang manfaat sejati, tanpa akhlak murni, tanpa mertabat diri dan apa yang kita dapat hanyalah kenikmatan duniawi yang bakal mengundang kemurkaan Pencipta Abadi. Apa kamu sedar semua itu , Nafsi?”

“Hei, dari mana kamu dapat kalimat-kalimat asing itu, hah?”

“Jangan khilaf, Nafsi! Silir di sini telah menyentuh kesedaran hakiki. Di sini berkesiuran silir dari wilayah Al-Rab yang murni, yang sarat dengan harmoni dan lagi, aku sudah tidak berupaya berpaling lagi untuk melarikan diri.”

Nafsi terus diam.

“Kamu masih mahu menurut kata naluri?”

Nafsi kerkedu.

“Lupakanlah soal mahu melarikan diri itu, Nafsi! Marilah kita bersama Aqli mencari wilayah Al-Rab yang semakin menghampiri. Aku rindukan zatnya yang abadi, murni dan jauh lebih suci dari segala wilayah yang pernah kita lewati.”

“Mana kamu tahu wilayah itu semakin menghampiri?”

“Tunggu dan lihat saja nanti!”

Nafsi rengsa mengeluh, terus terkedu dan merunduk akur dengan kegagalan menghasut Hati. Sesungguhnya, dia telah kecundang dan mahu tidak mahu terpaksa menguntit Aqli yang sudah melepasi himpitan gunung gemunung dan kini mereka telah tiba di satu wilayah karar. Disalir sungai-sungai bening, kesiur silir harmoni, dingin dan segar. Dan benarlah kata Aqli. walmana di naung awan gemawan menanti dengan senyum memurup.

Hubub tenang silir mesra berpusar, memandu Aqli memancang teguh turus mun’aqidah di kemuncak pelarian. Wilayah Al-Rab - wilayah karar, wilayah murni suci, mengalir sungai-sungai pembersih nurani Hati dan Nafsi dengan bening akhlakul karimah. Wilayah meruah tauhid ulluhiyyah, merimbun pohon-pohon muhasabah, memurup bunga-bunga mahmudah, membuah meranum kemanisan lawwamah melata menjalar menyubur juzuk jasadiah aqliah.

Aqli terpana di saujana lautan keagungan purbawisesa setelah melayari jutaan marhalah ditandu bahtera iman dengan suluhan nakhoda ilmu lalu mencecah pantai amal berpasir bersih. Dan di pantai bersih ini Aqli berlabuh dalam bening keesaan-Nya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ASMAUL HUSNA