Syed Mahadzir Syed Ibrahim
Segala puji bagi Allah s.w.t. Kami memuja-Nya, memohon
bantuan-Nya dan mengharapkan ampunan-Nya dari keburukan diri dan kehodohan
tingkah laku kami. Orang-orang yang dibimbing-Nya tidak kehilangan jejak dan
orang yang disesatkan tidak akan mendapat petunjuk. Selawat dan salam
senantiasa tercurah kepada qudwah dan junjungan kita Rasulullah s.a.w,
seluruh keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang senantiasa berpegang
teguh kepada jalan dan jejak baginda sampai akhir zaman.
Sesungguhnya Allah s.w.t menciptakan
makhluk-Nya dengan tujuan hanya untuk beribadah kepada-Nya, kemudian Allah s.w.t
mengutus rasul-rasul-Nya agar menerangkan kepada mereka akan wahyu Allah s.w.t,
maka Allah s.w.t pun mewajibkan kepada manusia untuk taat kepada-Nya,
sebagaimana firman-Nya: “Dan tidaklah Aku utus seorang rasul kecuali agar
ditaati dengan izin Allah.” (surah An-Nisa: 64)
Sedang kewajiban seorang muslim adalah ittiba’
(mengikuti) Rasulullah s.a.w secara utuh tanpa tawar-menawar lagi. Oleh
sebab itulah Allah s.w.t pun bersumpah dengan diri-Nya, bahawa orang yang
mengaku beriman tetapi dia tidak patuh dan berserah diri dengan hukum Allah,
maka terhapuslah keimanannya. Firman-Nya bermaksud: “... maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya.” (surah An-Nisa: 65)
Begitu juga dengan peringatan Allah s.w.t
terhadap orang yang menyisihkan perintah Rasul-Nya. Ertinya: “ …maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cubaan atau
ditimpa azab yang pedih.” (surah An nuur: 63)
Para ahli salaf betul-betul memahami nilai
ketaatan, mereka juga tahu bahawa kunci kebahagiaan terletak pada sejauh mana
mereka mengikuti perintah Rasulullah s.a.w, serta menjauhi dari apa yang
dilarang, maka mereka pun berittiba’ (mengikuti) sepenuhnya baik dalam
permasalahan yang kecil (ringan) hingga yang besar. Khususnya baginda s.a.w
banyak mengingatkan agar kita tidak terjerumus dalam tasyabbuh
(menyerupai) dengan orang-orang kafir dan Ahli Kitab, khususnya dalam
berpakaian.
Rasulullah s.a.w telah menetapkan bagi umat
ini pakaian yang berbeza dari umat yang lain. Dalam masalah ini ada banyak
perkara yang harus dilakukan oleh seseorang muslim (dalam hal berpakaian),
demikian juga hendaknya menjauhi apa yang dilarang oleh Rasulullah s.a.w,
khususnya larangan melakukan isbal (memanjangkan pakaian sampai buku
lali).
Kerananya, dalam rencana ini sengaja penulis
ulas permasalahan ini dengan harapan dapat menjadi hujah dan dalil bagi mereka
yang senantiasa rindu terhadap kebenaran dan sekaligus sebagai jawaban bagi
mereka yang masih enggan untuk mengamalkannya bahkan memperolok-olok dan
mengejek mereka yang berkemahuan keras mengamalkan sunnah yang satu ini.
Sebagaimana firman Allah s.w.t: “Dan berilah peringatan, kerana sesungguhnya peringatan
itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (surah Adz dzariyat: 55)
Definisi Isbal
Secara istilah, yang dimaksudkan dengan isbal
dalam tulisan ini adalah menurunkan atau memanjangkan kain (pakaian) melebihi
(di bawah) buku lali.
Batasan Terendah Pada Kain
Berikut penulis nukilkan beberapa hadis yang berbicara
dan menjelaskan batasan terendah pada kain (pakaian).
Hadis Pertama
Ertinya:
Dari Ibnu Umar, dia berkata, “Aku mengunjungi Rasulullah s.a.w
sedang aku memakai kain yang bergemerincing (kerana masih baru), lalu baginda
bertanya, “Siapa itu?” “Aku … Abdullah Ibnu Umar,” Baginda berkata, “Kalau
memang kamu Abdullah maka angkatlah kainmu!” Kemudian aku angkat kainku.
Baginda berkata, “Angkat lagi!” Maka aku pun mengangkatnya sampai setengah
betis.” (Hadis riwayat Ahmad 2/141,147, Thabrani dalam Al Kabir 12/356,
darjat hadis ini sahih)
Hadis Kedua
Ertinya:
Dari Ibnu Umar berkata: “Aku lalu di depan Rasulullah s.a.w,
sedang kainku melurut (kerana longgar), baginda berkata: wahai Abdullah,
angkatlah kainmu, aku pun mengangkatnya, angkat lagi! (kata baginda) aku pun
mengangkatnya lagi dan masih saja aku berusaha untuk tetap seperti itu sampai
sebahagian orang berkata: sampai seberapa, sampai setengah betis (jawabku).”
(hadis riwayat Muslim (2086), Abu ‘Awanah 5/482, Al Baihaqi dalam As Sunan
2/243)
Hadis Ketiga
Ertinya:
Dari Al‘ala’ bin Abdirrahman dari bapanya berkata, “Aku
bertanya kepada Abu Said Al Khudzriy tentang kain (izaar), Baginda
berkata, ‘Kain penutup seseorang muslim sampai setengah betis, dan tidak
mengapa apabila di antara keduanya (pertengahan betis dan buku lali), apa yang
ada di bawah buku lali maka (tempatnya) di neraka (baginda mengatakannya tiga
kali), dan barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong, Allah s.w.t
tidak akan melihat kepadanya.” (Abu Daud (4093), Ibnu Majah (3574), Ahmad 3/5,
6, 31, 44, 52, 97, Malik dalam Al Muwatho’ hal. 914-915, Al Humaidy
(737), Ibnu Abi Syaibah 8/203, Abu ‘Awanah 5/483, Ibnu Hibban (1445- Mawarid),
Al Baihaqi dalam As Sunan 2/244, Al Baghowi dalam Syarhus Sunnah
12/12 dan darjatnya sahih)
Hadis Keempat
Ertinya:
Dari Hudzaifah berkata, “Rasulullah s.a.w memegang otot
betisku atau betisnya (begini kata Abu Ishaq, seraya mencontohkan), lalu
baginda berkata: ini tempat (batas) kain, apabila kamu keberatan, maka seperti
ini (baginda menurunkan satu genggam), apabila masih keberatan, maka seperti
ini (menurunkan lagi satu genggam), apabila kamu menolak maka tidak ada lagi
hak bagi kain di bawah buku lali.” (hadis riwayat Tarmidzi (1783), An Nasa’i
8/206, Ibnu Majah (3572), Ahmad 5/382, 396, 398, 400, Ath Thoyalisy (425), Al
Humaidy (445), Ibnu Aqbi Syaibah 8/202, Ibnu Hibban (1447 – Mawarid) Al Baghowi
12/10, berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fathi 10/256: disahihkan
oleh Al Hakim dan darjatnya hasan)
Hadis Kelima:
Ertinya:
Dari Anas, dari Rasulullah s.a.w bersabda: “(Batas
tempat) kain itu sampai setengah betis, setelah baginda melihat hal ini dirasa
berat oleh kaum muslimin, baginda bersabda: sampai kedua buku lali, lebih dari
itu tidak ada kebaikan padanya.” (hadis riwayat Ahmad 3/140, 249, 256, dan darjatnya
sahih, dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/205 secara mauquf)
Hadis Keenam:
Ertinya:
Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Kain
seorang mukmin ialah sampai otot betisnya, (apabila keberatan) maka sampai
pertengahan betis (apabila masih keberatan), maka sampai buku lali, apa yang di
bawah buku lali, maka (tempatnya) di neraka.” (Ahmad 2/255, 287, 504, Abu
Awanah 5/484 dan darjatnya sahih)
Hadis-hadis ini semua jelas dan tegas
menerangkan kepada kita tentang aturan berbusana bagi seseorang muslim, di mana
tidak dibolehkan memanjangkan kain melebihi buku lali, dan sunnah hukumnya
(memotong kain tersebut) sampai setengah betis. Dan dari hadis-hadis tersebut
di atas boleh disimpulkan bahawa yang demikian ada tiga ukuran yang disukai:
1. Menurunkan kain sampai pertengahan betis.
2. Menurunkan kain sampai di atas pertengahan
betis.
3. Menurunkan pakaian sampai di bawah
pertengahan betis.
Peringatan Dan
Ancaman
Apabila kita telah tahu aturan yang sebenarnya
- tentang tidak dibolehkannya memanjangkan kain di bawah buku lali - bila orang
itu menolak hadis-hadis yang telah tetap dari Rasulullah s.a.w dan
menjadikannya terbuang (diremehkan), maka akibatnya tidak baik, sebagaimana
banyak hadis telah menjelaskan tentang hal ini, di antaranya:
Hadis Pertama:
Ertinya:
‘Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Apa
yang di bawah buku lali dari kain penutup (izaar), maka (tempatnya) di
neraka.” (hadis riwayat Bukhari 10/256, Ahmad 2/410, 461, 498, Abdur Rozzaq
11/38, Abu Na’im fi Al Hulyah 7/192, Al Baihaqi 2/244, Al Baghowi 12/12, Ahmad
5/9,Ibnu Abi Syaibah 8/204, 203 dari hadis Aisyah, Ath Thabrani dalam Al
Kabir dari hadis Samuroh bin Jundub dengan lafadz ma tahta al ka’baini
juga disebutkan oleh Imam Ahmad 5/15)
Berkata Al Khottobi: “Perkataan baginda ‘maka (tempatnya)
di neraka,” boleh bererti dua makna: yang pertama: bahagian kaki yang di bawah
buku lali berada di neraka, sebagai hukuman atas perbuatannya, yang kedua:
sesungguhnya perbuatannya itulah yang menyebabkan dia masuk neraka, atau boleh
dikatakan: perbuatan seperti ini termasuk perbuatan penduduk neraka.”
Hadis Kedua:
Ertinya:
Dari Asy Syarid berkata: “Rasulullah s.a.w mengikuti
seorang laki-laki dari Tsaqif sampai baginda mempercepatkan langkah dalam
mengikutinya, lalu Rasulullah s.a.w memegang kain orang tersebut dan berkata:
Angkatlah kainmu! Seketika nampaklah kedua lututnya, lalu dia berkata: Ya
Rasulullah, sungguh aku ini seorang yang cacat (bengkok pada telapak kaki)
sehingga kedua lutuntuku bersenggolan (ketika berjalan), Rasulullah s.a.w
bersabda: “Setiap apa yang Allah s.w.t ciptakan adalah baik.” Diceritakan: “Tidak
terlihat dari orang tersebut kecuali kainnya berada di tengah betis sampai dia
meninggal dunia.” (hadis riwayat Ahmad 4/390, Al Humaidi (810), Ath Thohawi
dalam Masykalil Atsar 2/287, Ath Thabrani dalam Al Kabir 7/377,
378, dan darjatnya sahih)
Sungguh seseorang yang cacat kaki lalu
memakai kain panjang agar tertutup kecacatannya, kerana dia mengira bahawa
membukanya bererti aib, tetapi Rasulullah s.a.w justeru menyuruhnya: “Angkatlah
kainmu!” Kemudian orang tersebut berdalih bahawa yang membuatnya berbuat
seperti itu adalah cacat pada kakinya. Rasulullah s.a.w pun menjawabnya dengan
sabdanya: “Setiap apa yang Allah s.w.t ciptakan adalah baik,” baginda pun
memberitahu bahawa dalih seperti itu belum cukup untuk membuatkan seseorang
menutupi buku lalinya, lalu bagaimana dengan orang yang tidak mempunyai dalih!
Hadis Ketiga:
Ertinya:
Dari ‘Amr bin Fulan Al Anshari berkata: “Ketika dia
berjalan dan kainnya melebihi buku lali, bertemulah dia dengan Rasulullah s.a.w,
lalu baginda menaruh tangannya pada keningnya dan berkata: “Ya Allah ini
hamba-Mu dan anak hamba-Mu dan anak orang yang beriman pada-Mu,” ‘Amr berkata:
Ya Rasulullah, sungguh aku ini adalah seorang yang cacat kaki (betis yang tidak
normal/kecil), baginda bersabda: “Wahai ‘Amr sesungguhnya Allah s.w.t telah
menjadikan baik apa yang diciptakan-Nya,” lalu Rasulullah s.a.w mencontohkan
dengan menaruh empat jari tangan kanannya pada lutut ‘Amr, dan baginda berkata:
“Wahai ‘Amr inilah tempat (batas) kain,” kemudian baginda menaruh di bawahnya
(dengan ukuran yang sama), dan berkata lagi: “Wahai ‘Amr inilah tempat (batas)
kain.” (hadis riwayat Ahmad 4/200, berkata Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al
Ishobah 7/155: sanadnya hasan, diriwayatkan pula oleh Ath Thabrani dalam Al
Kabir 8/277 dari hadis Umamah, Al Haitsmi dalam Majma’ 5/124, dan
diriwayatkan oleh Ath Thabrani dengan banyak sanad dan rijal yang salah
satunya terpercaya)
Hadis-hadis yang telah tersebut di atas,
menerangkan tentang sebab seseorang mandapat ancaman yang sangat keras (seperti
ancaman akan neraka atau yang selainnya), dan sebabnya ialah memanjangkan kain
melebihi buku lali. Setelah melihat dalil-dalil yang cukup jelas seperti ini,
tidak akan boleh seseorang mengatakan bahawa ancaman dalam hadis tersebut
ditujukan khusus kepada orang yang sombong ketika dia memanjangkan kainnya,
kerana hadis-hadis di atas jelas menerangkan tentang hukuman yang wajib
diketahui dan tegak di atasnya. Maka bila saja seseorang melanggar aturan
tersebut dan memanjangkan kain (di bawah buku lali), maka dia masuk dalam
kategori ancaman yang telah disebutkan dalam hadis di atas.
Hadis di atas sebagaimana pula hadis-hadis
sebelumnya tidak mungkin dikaitkan dengan kesombongan. Itu disebabkan kerana
setiap orang ingin menutupi kekurangannya secara fizikal (menurut
prasangkanya), ertinya ketika seseorang memanjangkan kain mungkin dia tidak
berniat sama sekali untuk sombong diri, dalam keadaan seperti ini saja
Rasulullah s.a.w tidak mengizinkan (untuk memanjangkan kain) lebih-lebih lagi
disertai niat sombong.
Hukum Isbal
Ada banyak hadis yang melarang dan mencela
tentang isbal (memanjangkan kain melebihi buku lali), di antaranya:
Hadis Pertama:
Ertinya:
‘Dari Abu Dzar berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: ada
tiga golongan, yang Allah s.w.t tidak akan mengajak bicara mereka pada hari
kiamat kelak, enggan melihat mereka, enggan mensucikan mereka dan mereka akan
mendapat azab yang sangat pedih (Rasulullah s.a.w mengulanginya sampai tiga
kali). Abu Dzar berkata: Sungguh mereka sangatlah rugi dan tidak beruntung,
siapa mereka wahai Rasulullah? Rasulullah s.a.w bersabda: Mereka adalah al-musbil
orang yang memanjangkan kainnya melebihi buku lali, pengungkit akan pemberian
atau kebaikan, penjual barang yang disertai sumpah palsu.” (hadis riwayat
Muslim (106), Abu Daud (4087), At Tarmidzi 3/516, An Nasa’i 5/81, 7/245, 8/208,
Ibnu Majah (2208), Ahmad 5/148, 158, 162, 168, 178, Ath Thoyalisi (468), Ibnu
Abi Syaibah 8/201, Ad Darimi (2608) dan Tarmidzi mengatakan: hadis hasan sahih)
Hadis Kedua:
Ertinya:
‘Dari Ibnu ‘Abbas, dari Rasulullah s.a.w bersabda:
Sesungguhnya Allah s.w.t tidak akan melihat kepada orang yang memanjangkan
kainnya (melebihi buku lali).” (hadis riwayat An Nasa’i 8/207, Ahmad 1/322,
Ibnu Abi Syaibah 8/200, Ibnu Al Ja’di (2340) Ath Thabrani dalam Al Kabir
12/41, Abu Na’im dalam Al Hulyah 7/192 dan darjatnya sahih)
Hadis Ketiga:
Ertinya:
‘Dari Ibnu Mas’ud berkata: Rasulullah s.a.w bersabda:
barang siapa yang memanjangkan kainnya (melebihi buku lali) di dalam solat
dengan sombong, maka Allah s.w.t tidak menghalalkan baginya (syurga) dan tidak
pula mengharamkan baginya (neraka).” (Abu Daud (637), Hunad dalam Az Zuhdi
(846), Ath Thabrani dalam Al Kabir 9/315 dan darjatnya sahih)
Setelah melihat dalil di atas, seharusnya
kita meneliti serta membetulkan maknanya dengan niat mendekatkan diri kepada
Allah s.w.t dan ikhlas dalam menerapkan syariat Allah dan mempraktekkan
perintah Rasulullah s.a.w, kenapa kita menoleh ke kiri dan ke kanan,
mentakwilkan begini dan membolak-balikkan maknanya hanya untuk mencari dalih
pembenaran (justifikasi), padahal sebenarnya dalih yang sangat hina itu tidak
mempan menolak dalil yang telah tetap (dari Rasulullah s.a.w).
Semua itu dalam rangka mengikuti dan mentaati
hawa nafsu yang banyak menyuruh kepada kejelekan, dan agar senantiasa mendapat
dalih dalam memanjangkan kain, dan apabila kita ingatkan dengan hadis-hadis
Rasulullah s.a.w, dia akan menjawab: “Ancaman pada hadis-hadis itu hanya untuk
orang yang memanjangkannya dengan kesombongan, dan aku tidak ada niat sombong,
untuk itu boleh saja aku memanjangkannya sekehendakku,” begitulah kebanyakan
jawapan manusia, apakah dengan jawapan yang lemah tersebut dapat menghalangi
dalil yang telah tetap lagi kuat?
Walaupun sepertinya dari dhohir hadis
menunjukkan akan pensyaratan sombong (ketika memakainya), tetapi Ibnu Umar
tidak memandang seperti itu, yang beliau fahami ialah siapa saja yang
memanjangkan kainnya melebihi batasan yang telah ditentukan oleh Rasulullah s.a.w,
maka dia termasuk dalam kategori ancaman (sebagaimana tersebut dalam hadis).
Untuk itu ketika beliau melihat anaknya
memanjangkan kain (melebihi buku lali), beliau tahu bahawa anaknya bukanlah
termasuk orang-orang sombong, beliau pun tidak bertanya kepada anaknya tentang
niat, apakah diniatkan sombong atau yang lainnya, akan tetapi hanya sekadar
melihat anaknya telah memakai kain melebihi batas yang telah ditentukan, beliau
pun menegurnya.
Hadis Keempat:
Ertinya:
‘Dari Umar bin Maimun dalam menyebut kisah terbunuhnya
Umar bin Khattab: “…..ketika anak itu balik (pulang dari mengunjungi Umar)
kainnya menyentuh tanah, maka Umar berkata: panggil kembali anak itu! Umar
berkata: Wahai anak saudaraku, angkatlah kainmu (pakaianmu) kerana yang
demikian lebih mensucikan pakaianmu dan lebih menjadikanmu bertakwa kepada
Allah.” (hadis riwayat Bukhari 7/60, Ibnu Abi Syaibah 8/201, 2202, riwayat ini
mempunyai syahid (penguat) dengan darjat marfu’ dari hadis ‘Ubaid bin
Kholid diriwayatkan oleh Tarmidzi dalam Asy-Syamail (97 – Mukhtashor Al
Albani), An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubro sebagaimana disebutkan dalam Tuhfatil
Asyroof 7/223, Ahmad 5/364, Ath Thoyalisi (1190), Al Baghowi dalam Syarhus
Sunnah 12/11, berkata Al Hafidz dalam Al-Fathii 10/263: dan darjat
riwayat sebelumnya jayyid, namanya adalah rohmun, disahihkan oleh
Al Albani dalam Mukhtashor Asy Syamai)
Umar bin Khottob walaupun dalam keadaan sakit
menjelang kematian, tetapi ketika melihat anak kecil yang kainnya terjulur
panjang, tidak tinggal diam bahkan beliau menyuruh agar memanggilnya kembali
sehingga dapat menyuruhnya untuk memotong kain yang dipakai. Dan Abdullah Ibnu
Mas’ud meriwayatkan hadis yang menyebutkan ‘kesombongan,” tetapi beliau justeru
memahami hadis tersebut sesuai dengan zahir kalimat, sebagaimana juga difahami
oleh semua sahabat Rasulullah s.a.w.
Hadis Kelima:
Ertinya:
‘Dari Ibnu Mas’ud r.a beliau melihat seorang Arab gunung
solat dan kainnya melebihi buku lali, beliau berkata: seorang yang memanjangkan
kainnya dalam solat, maka Allah s.w.t tidak menghalalkan baginya (syurga) dan
tidak pula mengharamkan baginya (neraka).” (hadis riwayat Abu Daud Ath
Thoyalisi (351), Ath Thabrani dalam Al Kabir 9/315,10/284, Al Baihaqi
dalam Sunan-nya 2/242, berkata Al Hafidz dalam Al-Fathi 10/257: sanadnya
hasan dan hal seperti ini tidak boleh ditafsir dengan akal, untuk itu tidak
mengapa untuk memahaminya sesuai dengan dhohir hadis, darjat hadis sahih
dengan syarat Imam yang enam)
Kenapa Ibnu Mas’ud mengucapkan hadis ini
kepada seorang Arab gunung padahal dia sedang berhadapan dengan Allah s.w.t
(solat), kalau seandainya perkaranya memungkinkan dua makna iaitu antara
meniatkan kesombongan dan tidak meniatkannya, kenapa Ibnu Mas’ud sampai
mengatakan kepadanya tentang hal ini. Boleh jadi dia memanjangkannya tanpa niat
sombong, jika memang perkaranya boleh diertikan seperti ini.
Akan tetapi Ibnu Mas’ud mengetahui sepenuhnya
bahawa isbal itu termasuk perbuatan sombong dan orang yang berbuat isbal
tidak dilihat oleh Allah s.w.t pada hari kiamat kelak, seperti telah
disebutkan.
Berkata Ibnu al-’Arobi: “Tidak sewajarnya
orang yang memanjangkan kainnya berkata: “Aku tidak memanjangkannya kerana
sombong,” kerana lafaz hadis telah mencakupi larangan, dan tidak sewajarnya
juga bagi orang yang demikian untuk menyelisihi lafaz tersebut (yang berisi
larangan), kerana hukumnya sama seperti orang yang mengatakan: “aku tidak akan
melaksanakannya kerana illah (sebab sombong) tidak ada padaku.”
Sesungguhnya pengakuan seperti ini tidak dapat diterima, kerana dengan
memanjangkannya bererti kesombongan.” (Aunul Ma’bud 11/142)
Begitu juga Al Hafidz Ibnu Hajar membantah sangkaan
orang yang mengatakan bahawa pengharaman isbal itu hanya diperuntukkan
bagi orang-orang yang sombong. Beliau berkata: “Kalau memang keadaannya seperti
itu, tidak ada ertinya Ummu Salamah bertanya kepada Rasulullah s.a.w tentang
hukum wanita yang memanjangkan kainnya, bahkan baginda memahami bahawa isbal
itu dilarang secara mutlak (bagi laki-laki dan wanita) baik sombong atau tidak,
maka baginda bertanya tentang hukum wanita dalam masalah ini, kerana wanita
memerlukan akan panjangnya kain bagi menutupi aurat.” (Fathul Bari
10/259)
Bersamaan dengan ini Rasulullah s.a.w
mengikrarkan bahawa pengharaman isbal umum bagi laki-laki dan wanita,
walaupun tidak meniatkan sombong, hal yang demikian disebabkan kerana
memberitahu Ummu Salamah setelah dia mendengar hadis yang dibawa oleh Ibnu Umar
secara marfu’, “Barang siapa yang memanjangkan kainnya dengan sombong
Allah s.w.t tidak akan melihatnya kelak pada hari kiamat.”
Begitupun Ummu Salamah memahami bahawa kain
yang melebihi buku lali ialah maksud dari pada larangan itu sendiri, untuk itu
beliau bertanya dan mengikrarkan pemahamannya terhadap hadis di atas, dan
dijawab oleh Rasulullah s.a.w bahawa wanita mempunyai hak untuk memanjangkan
kain sebatas satu hasta dan tidak lebih dari itu.
Jika kita perhatikan dari pemahaman sahabat
dan orang-orang yang mengikutinya tentang tata cara berpakaian sebagaimana yang
telah ditetapkan oleh Rasulullah s.a.w, berikut menjadikan tempat (batasan)
tertentu pada badan, yang tidak berhak bagi seorang pun untuk menyimpang
darinya, seperti apa yang telah baginda katakan: “Tidak ada kebaikan apa yang
melebihi darinya (buku lali),” dan perkataan baginda ‘kain yang di bawah buku
lali maka tempatnya di neraka,” atau lafaz-lafaz lain yang mengancam akan isbal,
maka seharusnya orang yang berpegang teguh dan arif dengan agamanya akan selalu
ingin menjauhkan dirinya dari kemarahan dan azab Allah s.w.t, serta senang
mendapat redha Allah s.w.t, masuk syurga dan melihat wajah-Nya.
Lantaran itu sudah sewajarnya bagi kita untuk selalu berusaha dengan
sungguh-sungguh dalam menjalani petunjuk dan berjalan di atas apa yang telah
ditentukan oleh Rasulullah s.a.w. Kebanyakan dalam hadis-hadis yang telah
disebutkan sekitar permasalahan isbal dan yang melebihi dari buku lali,
ada banyak dalil yang mengecam dan mengancam orang yang memanjangkan kainnya
dengan sombong, takabbur dan merasa lebih tinggi dari yang lain, yang
mengharuskan kita untuk berhati-hati dari isbal.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan