Selasa, 22 Februari 2011

BEDAH PUISI ANTOLOGI BAHTERA II


(Sempena Deklamasi Puisi Bina 1Malaysia anjuran Jabatan Kebudayaan Dan Kesenian Negara Negeri Selangor (JKKN) dengan kerjasama Institut Perkembangan Minda (INMIND), Majlis Kebudayaan Negeri Selangor (MKN), Persatuan Jaksa Pendamai Selangor dan Persatuan Penulis Dan Kebajikan Negeri Selangor (KEMUDI) di Klang Executive Club (KEC))

Syed Mahadzir Syed Ibrahim

“Puisi bagi saya, adalah hasil upaya manusia untuk menciptakan dunia kecil dan padat dalam kata, yang boleh dimanfaatkan untuk membayangkan, memahami dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih dalam.” – Begitu kata penyair Sapardi Djoko Damono.

Apa Yang Membuatkan Sesebuah Puisi Itu Bagus?

Puisi adalah sebuah lukisan kecil dalam bentuk kata-kata. Puisi bagus adalah puisi yang berisi sebuah pesan dan ditulis dengan bahasa yang tertata indah. Pesan boleh berupa pernyataan, kesan, atau ungkapan emosi. Puisi indah tanpa mengandungi pesan, hanyalah sebuah dekorasi. Puisi berisi pesan saja tanpa mengandungi keindahan hanyalah sebuah interupsi. Puisi, menurut Pradopo, adalah karya estetika yang bermakna, yang mempunyai makna, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna.

Pesan perlu sebuah subjek. Tentang apa yang ingin kita sampaikan. Boleh saja berupa seorang yang kita kenal, pemandangan, atau gagasan abstrak seperti cinta dan ketuhanan. Kita menyusun pesan dengan memasukkan bahagian kedua, yakni konteks, seringkali berupa latar. Konteks memberikan relevansi, kewujudan, lokasi subjek, atau minat lainnya, sehingga pesan dapat disampaikan dengan baik. Pesan adalah kombinasi dua elemen subjek dan konteks, yang menceriterakan pesan tersebut.

Seperti pentingnya mengetahui apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam pesan, kita juga perlu tahu apa yang tak perlu dimasukkan ke dalam pesan. Apa saja yang bukan bahagian dari subjek atau konteks dari pesan yang kita buat, maka itu hanyalah kata atau kalimat yang mengganggu, merosakkan puisi dan membuatkan pesan kita menjadi kabur. Gunakanlah kata-kata secara efektif. Jadi kurangkan kata-kata atau kalimat yang tidak relevan, yang tidak memberikan efek, biasanya dengan kembali memperhatikan subjek dan konteksnya, atau menulis kembali dengan sudut pandang yang berbeza untuk mendapatkan cara pengungkapan yang lebih baik.

Seorang pelukis menciptakan seni dengan penambahan iaitu menambahkan apa yang dia lukis, jurugambar menciptakan seni dengan pengurangan iaitu mengurangi bahagian-bahagian yang tidak perlu, sedangkan penyair melakukan kedua-duanya sekali.

Apa Yang Membuatkan Sesebuah Puisi Itu Indah?

Sebagai sebuah karya seni, puisi haruslah indah. Ia merakam semangat dari subjek dan membangkitkan emosi. Keindahan yang dapat memukau jiwa pembacanya. Sebuah keharuan. Acep Zamzam Noor menyebutnya, puisi yang membuatkan bulu roma berdiri, disebutnya teori bulu roma. Perasaan tersentuh, hati bergetar. Ook Nugroho mengiaskannya sebagai virus yang menularkan wabak. Jadi, apa yang membuatkan sesebuah puisi itu indah?

Ada orang kata: puisi boleh mewakili ribuan kata, maka puisi indah hanya mewakili satu kata saja: “Wow!”

Keindahan puisi tercipta dari paduan harmonis: kesederhanaan, permainan kata, permainan bunyi, permainan imaginasi dan kedalaman.

Kesederhanaan

Kesederhanaan dalam puisi juga dikenali dengan sebutan pemadatan kata, atau lebih tepatnya pemadatan nilai, yakni dalam serangkaian kata yang sederhana terkandung kedalaman makna, kandungan imaginasi yang menggugah fikiran dan nilai estetika yang menyentuh perasaan.

Secara teknik, kesederhanaan bermakna mengeliminasi semua elemen atau detail yang tidak perlu yang tidak ada sumbangannya pada semangat komposisi secara keseluruhan. Terlalu sederhana yang dapat menghilangkan efek-efek puitis juga perlu dihindari. Kita harus menjaga keselarasan dan keseimbangan dalam komposisi untuk menciptakan efek puitis.

Permainan Kata

Sapardi Djoko Damono mengatakan bahawa seni adalah sebuah permainan, dan puisi itu sebenarnya adalah permainan yakni bermain dengan kata-kata. Inti dari permainan kata adalah diksi atau pemilihan kata, termasuk di dalamnya gaya bahasa. Diksi berfungsi, pertama untuk memberikan pengungkapan yang tepat sehingga pesan dapat disampaikan dengan baik dan benar, kedua untuk menemukan pengungkapan yang sesuai dengan subjek dan tulisan secara keseluruhan.

Unsur utama puisi adalah kata, maka diksi berkaitan dengan bagaimana memilih kata paling tepat dan paling sesuai, kerana itu penguasaan kosa kata dan maknanya sangat penting dalam menulis puisi, kekayaan akan perbendaharaan kata dan pemahaman mendalam akan maknanya membantu kita dalam membuat diksi yang unik dan khas. Menurut Rendra, penyair harus membedah makna kata hingga tulang-temulangnya. Pisau naluri yang tajam akan menghasilkan kata-kata dan makna yang tajam pula.

Kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi, demikian ungkap Sapardi Djoko Damono. Katanya lagi, “Kata-kata yang berselerakan di sekeliling kita dengan ertinya yang umum harus menyesuaikan diri dengan pengalaman puitis kita yang khusus. Pengabdian total terhadap kata-kata yang sudah ada, tanpa usaha menundukkannya hanya akan menghasilkan puisi-puisi yang mentah dan membosankan.”

Selanjutnya Agus R Sarjono memberikan resepi agar puisi tidak mentah dan membosankan, iaitu dengan menghindari musuh-musuh puisi, seperti:

  1. bahasanya umum, tidak unik, tidak khas;
  2. bahasanya mudah, makna kata dan kalimat tidak digali secara mendalam, tidak ada penghayatan;
  3. bahasanya seperti pengumuman atau reklame, tidak ada sentuhan rasa dan estetika;
  4. bahasanya klise atau sudah janda, ungkapan-ungkapan usang, kata-kata yang sudah sering digunakan bahkan sudah dicerai;
  5. bahasanya menggurui, seolah-olah segurat ayat dalam kitab suci.

Adapun mengenai gaya bahasa, bahasa figuratif atau majas, M S Hutagalung mengatakan ia memberikan andil yang besar untuk konsentrasi dan intensifikasi puisi, membuatkan baris-baris puisi menjadi padat makna dan imaginasi, sekaligus memberi warna emosional pada imaginasi tersebut.

Permainan Bunyi

Salah satu elemen estetika paling penting dalam puisi adalah bunyi. Merupakan elemen puisi untuk menciptakan keindahan muzik dan kekuatan ekspresif, untuk membangkitkan suasana dan memperdalamkan makna. Tanpa permainan bunyi, sebuah puisi kehilangan separuh nyawanya. Goenawan Mohamad mengatakan bahawa puisi tidak cuma kata, tak cuma kalimat. Ia juga nada, bunyi, bahkan keheningan.

Faktor permainan bunyi – selain semiotik dan ekstrinsik – merupakan salah satu faktor yang membuatkan puisi tidak mungkin boleh diterjemahkan. Hanya boleh disadur. Hanya boleh ditulis ulang ke dalam gaya bahasa penterjemahnya. Walau maknanya mungkin masih utuh, namun nilai rasanya boleh jadi tak lagi menyentuh.

Permainan bunyi meliputi asonansi dan aliterasi (pengulangan bunyi dalam kata berurutan), rima (persajakan) dan irama (tinggi rendah, panjang pendek dan keras lembut pengucapan).

Keteraturan dan keselarasan dalam memainkan bunyi tersebut menghasilkan nilai estetika, yang oleh pakar matematik yang bernama George David Birkhoff, dirumuskan dengan M = O/C. Di mana M adalah nilai estetika yang terukur, O adalah keteraturan estetika, dan C adalah kompleksiti. Nilai estetika sesebuah puisi akan terukur tinggi apabila sebuah rangkaian kalimatnya mengandungi lebih banyak asonansi, aliterasi dan rima dibandingkan dengan jumlah katanya (kompleksiti).

Namun sekali lagi, untuk memaksimakan potensi estetika puisi melalui permainan bunyi, penguasaan perbendaharaan kata dan maknanya sangatlah penting. Agar puisi tidak sekadar serangkaian bunyi-bunyian.

Permainan Imaginasi

Permainan imaginasi adalah perasaan-perasaan yang menggerakkan layar ‘BAHTERA II’, demikian KEMUDI memberi judul kumpulan puisinya. Sebuah puisi adalah imaginasi atau citra itu sendiri. Yang menggambarkan dirinya di alam fikiran penyairnya, dalam bentuk ilham atau lamunan. Penyair menularkan pengalamannya kepada pembaca. Pembaca yang terinveksi, diharapkan mengalami pencitraan yang dialami penyair, agar membayangkan hal yang sama, merasakan hal yang sama, bahkan tidak menutup kemungkinan, pembaca mengalami pengalaman yang jauh berbeza. Lebih jelu dan haru. Lebih manis dan dramatik.

Menulis puisi adalah merekontruksi citra tersebut ke dalam bentuk rangkaian kata, dengan menggunakan kata-kata konkrit, gaya bahasa personifikasi dan metafora, juga dengan permainan bunyi. Sehingga angin terasa hembusannya, air terdengar gemericiknya, jantung terasa degupnya. Pakar psikologi mengidentifikasikan ada tujuh citra mental iaitu: pemandangan, suara, rasa, bau, sentuhan, kesedaran tubuh dan ketegangan otot. Semuanya dapat dieksplorasi penyair untuk memperkuatkan makna dan keyakinan akan kebenaran yang diungkapkannya.

Kejayaan membina citra sangat berhubungan erat dengan pengalaman nyata penyairnya, baik yang terjadi di dalam kehidupannya mahupun pergulatan di dalam batin dan alam fikirannya. Penyair tidak akan berjaya membina citra sesuatu yang ia tidak terlibat di dalamnya, apakah itu keterlibatan fizikal atau mental. Lantaran itu, Yevgeny Yevtushenko menyebut, autobiografi penyair adalah puisinya, yang lain hanya catatan kaki.

Di sisi lain, kejayaan membina citra akan meninggalkan kesan yang indah atau mengharukan pada diri pembacanya. Jika puisi tidak meninggalkan kesan apa-apa, boleh jadi tidak ada citra yang membekas dalam fikiran pembacanya. Lalu, ke mana sampainya pesan yang ingin disampaikan secara indah kepada pembaca?

Kedalaman

Kedalaman puisi mempunyai makna, apa yang tersirat lebih dalam dan luas daripada yang apa yang tersurat. Meliputi kedalaman emosi, fikiran, imaginasi, makna dan elemen-elemen puisi yang lainnya, yang membuatkan penikmat puisi tidak boleh berhenti membaca, tidak boleh berhenti merasakan, tidak boleh berhenti berfikir, walaupun puisi sudah berakhir. Seakan-akan maknanya terus menusuk ke dalam jantung pembacanya, hanyut ke dalam alam bawah sedarnya.

Kadang-kadang penyairnya tak menyedari kedalaman dan keluasan makna dari apa yang ditulisnya sendiri. Kadang-kadang baru sedar ketika pembaca mendiskusi atau mengapresiasikannya. Sebab penyair, kata Bakdi Sumanto, hanya perantara saja bagi lahirnya puisi.

Untuk mencapai kedalaman, puisi tidak boleh ditulis sepintas lalu. Perlu pengendapan, lalu endapannya digali, kemudian diendapkan lagi, digali lebih dalam lagi. Terus dan terus. Itu sebabnya puisi tak pernah selesai, seperti ungkapan Paul Valery, puisi tak pernah selesai, hanya ditinggalkan.

Kedalaman puisi tidak lepas dari faktor ekstrinsik seperti budaya, agama, kejiwaan, lingkungan, zaman, atau politik yang mempengaruhi secara mengakar penyairnya. Faktor ekstrinsiklah yang mengilhami dan memaknai puisi-puisi tersebut. Lantaran itu, seorang sufi seperti Jamaluddin Ar-Rumi begitu fasih dan indah mengucapkan puisi-puisi ketuhanan.

Kepiawaian kita memadukan kata, bunyi, imaginasi dalam kesederhanaan dan kedalaman mengungkap citarasa seni kita. Kita boleh menentukan bahagian mana yang perlu diperkuatkan untuk menegaskan pesan kita. Pilihan-pilihan ini bersifat unik dari seorang penyair ke penyair yang lain, sangat dipengaruhi keperibadian dan kehidupan penyairnya. Begitulah yang dapat kita lihat dalam antologi BAHTERA II kali ini.

Dalam antologi BAHTERA II, saya melihat dua unsur yang menjadi ciri umum puisi, iaitu unsur yang berkaitan dengan bentuk puisi dan unsur yang berkaitan dengan makna puisi. Unsur yang berkaitan dengan bentuk puisi adalah bunyi iaitu irama dan rima, pilihan kata, dan tampilan cetak atau tulisan. Unsur yang berkaitan dengan makna puisi adalah tema, pesan tersurat, dan pesan tersirat. Yang jelas puisi dalam antologi BAHTERA II merupakan ekspresi perasaan, fikiran, pendapat, dan sikap penulisnya sehingga makna puisi juga berkaitan dengan apa yang ingin disampaikan penyair.

Sedar atau tidak, ketika kita sedang sedih, kecewa, putus asa, riang, gembira, dalam kerinduan, atau sedang kasmaran, mungkin saja akan tercipta puisi yang berupa curahan hati yang mengungkapkan pengalaman peribadi yang di dalamnya ada pesan yang disampaikan.

‘Kesepian Melanda Hatiku’ nukilan Abu Hassan Ashari di muka surat 17 menceritakan hakikat ini.

Aku

antara suami yang malang

yang meluah rindu di kamar sepi

aku menangis resah di tabir hidup

dalam lelah dan payah

mencari hati yang menyimpan simpati

aku dalam kecewa membendung derita

mengintai di mana cinta

dari jiwa nan mesra

Rangkap ini jelas mengungkap rasa sepi seorang suami iaitu ‘aku’. Pergulatan hidup yang diselimuti gebar sepi mengharapkan agar ada insan yang sudi dan simpati menyerahkan secebis cinta untuk mengubati nestapa sepi yang dideritai. Begitu juga pada rangkap yang kedua. Penyair begitu jujur menjelaskan kepada bakal wanita yang bakal menyerahkan cinta kepadanya bahawa penyair mempunyai seorang puteri tunggal yang begitu faham akan perasaan sepi seorang ayah.

Aku

kesepian ini meragut tangkai hati

bersama tangis sayu puteri tunggalku

yang mula mengerti

penderitaan batin seorang ayah

Justeru menanti buah yang tidak gugur, cinta simpati yang tidak kunjung tiba, akhirnya penyair menyerahkan segala-galanya kepada Allah Azzawajalla pada rangkap ketiga.

Aku tetap bersujud kepada-Mu ya Rabbi

bersama sepi yang menguasai diri

saban hari kemuraman ini kulalui

tawa dan sendaku adalah palsu

buat meriangkan jiwa anakku

bersama rindu yang mencengkam hati

dalam episod sepi yang kulukis kini

Lantaran itu saya memaknakan puisi ‘Kesepian Melanda Hatiku’ nukilan Abu Hassan Ashari ini adalah sebuah salinan dari sebuah kenyataan, kejadian, atau peristiwa yang terjadi yang diungkapkan kembali dengan bumbu pengalaman penyair. Kadang-kadang ada juga kehidupan yang digambarkan dalam puisi, tidak sama persis dengan kehidupan nyata. Penyair menuliskan puisi dari peristiwa atau kejadian itu, diungkapkan menggunakan fikiran dan perasaannya. Ungkapan fikiran dan perasaannya itu juga dihiasi dengan sikap penyair, latar belakang pendidikannya, budayanya, pandangan hidupnya, kedewasaan psikologinya, dan sebagainya.

Haji Ahmad Sarju dalam puisinya ‘Kembalikan’ di muka surat 39, telah mengajak masyarakat supaya menjaga kelestarian alam sekitar. Penyair begitu prihatin dengan nasib alam yang mutakhir ini begitu leluasa dirosakkan. Dengan bahasa yang bersahaja dan mudah penyair memulakan karyanya seperti berikut:

Kembalikan hutan itu

kepada keindahannya

kepada ketenangannya

kepada kedamaiannya

kepada flora faunanya

Jangan biarkan putik bunganya gugur

rimbun daunnya bertabur

hijau pohon rebah ke tanah

haiwan unggas mati berdarah

Kembalikanlah akar itu kepada buminya

pusaka itu kepada warisannya

sejarah itu kepada tanah airnya

kebebasan itu kepada warga rimbanya.

Dapat dikesan penyair tidak berselindung di sebalik kata-kata yang berlapis. Dalam sajak ini jelas kelihatan penyair berterus-terang, sentimental dan perasaan turut memperkaya apa yang ingin disampaikannya. Berdasarkan kenyataan tersebut, penyair telah meluahkan isi puisinya melalui konsep yang tidak abstrak, imaginatif, tidak emosional, tidak subjektif, mengikut rasa, pengetahuan, pengalaman serta pengurusan bahasa yang dimilikinya. Dalam luahan ini terdapat nadi dan kehidupan yang segar, bergerak bersama-sama pendengar dan pembaca. Ini tentang ‘Kembalikan’ karya penyair Haji Ahmad Sarju.

Di antara penyair dalam antologi BAHTERA II yang begitu prolifik ialah Dr Ahmad Razali Yusof. “Menagih Janji Dari Sebuah Akta” di muka surat 27 dikesan begitu padat dengan sindiran, semangat nasionalisme dan protes. Jelasnya, sajak ini adalah suara hati penyairnya, yang lahir daripada jiwa dan perasaan, sajak yang bukan mainan kata semata-mata, yang membawa gagasan serta pemikiran yang dapat menjadi renungan masyarakat.

Mencipta akta bahasa untuk memperkasa laluan

menjadi agenda utama kepada sebuah negara

yang akan merempuh waktu dan zaman merdeka

tetapi, setelah termaktub

sang petualang sering tidak memberikan laluan seperti yang dijanjikan

sehingga suara orang-orang kecil

menjadi lebih berani dan lantang menentang

untuk mengangkat kekecewaannya ke dalam ruang

yang lebih jauh membongkar kata tidak bermakna

namun, aku semakin tumbuh mencari susur makna

ke dalam diri, sambil merengkuh kehidupan

di dunia raungku.

Keseluruhan rangkap ini penuh dengan penyataan bahawa berlaku protes dan rasa tidak puas hati penyair terhadap akta bahasa. Bermula dengan sejarah kewujudan akta bahasa yang sudah terpatri sebagai agenda utama negara namun telah cuba diganggu-gugat oleh sang petulang sehingga menyebabkan cagun warga yang lantang menyuarakan kehendak mereka dalam pelbagai pojok.

“Kata-kata terbaik dalam susunan yang terbaik” merupakan definisi sajak yang cukup popular. Ini adalah tanggapan Samuel Taylor Coleridge. Proses penting dalam penciptaan sajak adalah diksi atau pemilihan kata. Daripada sejumlah kata yang banyak atau kaya itu, penyair Dr Ahmad Razali Yusof hanya memilih yang terbaik atau yang paling tepat dan cantik untuk mewakili perasaannya.

Dalam rangkap kedua, penyair menggunakan perkataan ‘membina laluan ke padang azam’, ‘di atas bara api yang semakin jauh’, ‘penantian ini akan lebih malang’, ‘rapuh terbaring’, ‘padang dendam’, ‘para wali bersidang’, ‘terbaring seperti bangkai’ dan sebagainya. Inilah kekayaan bahasa yang telah dijaring dengan teliti oleh penyair. Kata yang terbaik atau terpilih itu tidak akan berfungsi sekiranya tidak disusun dengan baik pula. Di sinilah letaknya taraf kepenyairan seseorang penulis. Susunan terbaik inilah sebenarnya yang melahirkan keindahan pada bahasa sajak itu. Perhatikan kalimat-kalimat puitis ini:

Aku berjalan lagi membina laluan ke padang azam

di atas bara api yang semakin jauh

apakah penantian ini akan lebih malang lagi

atau hanya sekadar memenuhi janji untuk yang rapuh terbaring

di padang dendam yang tak pernah selesai

kemudian, para wali bersidang lagi

membaharui penentuan yang semakin kusut

dendam para pejuang membara lagi

dan membara – membara – membara

mengatur strategi lain, biarpun alasan lebih kukuh

namun akta masih terbaring seperti bangkai.

Penyair tidak pernah diam dalam memperjuangkan agenda mencegatkan akta bahasa di puncak lestari dengan pelbagai cara kendatipun penyair sedar bahawa akta tersebut tidak akan tercegat sebagaimana yang diimpikannya.

Menurut Wordsworth (1800) seorang penyair Inggeris kurun kesembilan belas, puisi ialah pengucapan tentang perasaan ghairah yang imaginatif dan biasanya berentak. Samuel Taylor Coleridge (1811-1812) seorang lagi penyair Inggeris yang hidup sezaman dengan Wordsworth menegaskan bahawa puisi sebagai “the best words in their best order” atau kata-kata terbaik dalam susunan terbaik.

Amin Minhad atau Aminhad melalui sajaknya ‘Bisikan Nurani’, muka surat 51, telah melafazkan fikiran yang cantik dengan bahasa yang indah dan melukiskan kemanisan dan kecantikan bahasa. Justeru, dengan gambaran yang cantik itu, perkara yang dikatakan itu bertambah menarik kepada hati orang yang mendengarnya. Ini memusatkan perhatian saya kepada kecantikan atau keindahan bahasa, metafora, alusi, imej dan sebagainya hasil garapan penyair Aminhad.

‘Bisikan Nurani’ Aminhad bermula dengan bauran aksara berikut:

Gemersik angin di sela-sela daunan

yang menggetarkan makna Alif

yang mentafsir makna fikir

adalah perhiasan sebuah di rumah bumi

adalah kesementaraan perhiasan di padang permainan

sepanjang-panjang jalan

menyusuri tepian hayat

yang berkeringat.

Dalam rangkap ini, penyair menggunakan perkataan ‘gemersik angin’, di sela-sela daunan’, ‘menggetarkan makna Alif’, ‘mentafsir makna fikir’,perhiasan’, ‘rumah bumi’, kesementaraan perhiasan’, ‘padang permainan’, ‘menyusuri tepian hayat’, ‘berkeringat’ dan sebagainya. Inilah kekayaan bahasa yang telah dijaring dengan teliti oleh penyair. Kata yang terbaik atau terpilih itu tidak akan berfungsi sekiranya tidak disusun dengan baik pula. Di sinilah letaknya taraf kepenyairan seseorang penulis. Susunan terbaik inilah sebenarnya yang melahirkan keindahan pada bahasa sajak itu.

Rangkap ini mengungkap bahawa alif atau konotasi kepada iman, iktikad yang betul, akidah, akhlak, ibadah yang ikhlas kerana Allah dan amalan yang sejajar dengan syariat diletakkan di tempat yang tinggi dalam kehidupan seseorang manusia. Harus diingat, bahawa seseorang penulis atau penyair bukan “perosak bahasa” tetapi seorang “pencipta bahasa”. Melalui sajak, seseorang penulis atau penyair mampu mewujudkan ungkapan yang segar, logik, kreatif dan bernas. Melalui sajak juga keintiman diksi menimbulkan aura ayat yang indah. Sudah tentu dengan aura yang demikian, maka ayat yang terbina mampu pula menyerlahkan pemikiran dalam sajak tersebut.

Seterusnya penyair menjelaskan bahawa hanya dengan alif tersebut iaitu iman, iktikad yang betul, akhlak, ibadah yang ikhlas kerana Allah dan amalan yang sejajar dengan syariat mampu memandu manusia ke jalan yang terang. Ini semua diketuai oleh iman yang akan menjadi lampu yang menyinar dalam kegelapan walaupun seseorang manusia itu sudah meninggal dunia. Hakikat ini terserlah dalam rangkap ini:

Bukan mudah untuk menemukan

sebuah peta ketika matahari terpadam

hanya Alif nyata bersinar

dalam perut hutan

waima engkau ditimbus dan dikafan!

Baha Zain pernah menegaskan bahawa “sajak tidak berbicara segalanya dan tidak kepada semua.” Maknanya, penyair (sebagai manusia yang sensitif) hanya akan menangkap sebahagian daripada fragmen kehidupan manusia ke atas kertas menjadi sajak. Sajak pula tentunya tidak diminati semua orang atau lebih tepat lagi tidak difahami semua orang. Inilah yang dimaksudkan oleh Baha Zain dengan ungkapan sajak ditulis atau dicipta tidak kepada semua orang. Malah, apabila kita mentafsir sesebuah sajak, kita mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk mentafsir sajak itu mengikut kefahaman kita sendiri, asalkan ada logik sasteranya. Ini sesuai pula dengan sifat bahasa sajak itu sendiri yang konotatif dan ambiguiti.

‘Andai Perempuan Itu Bunga Dan Hujan’ karya AMJA atau penyair Awaludin Md Jahid di muka surat 65 dilihat begitu tegas memaknakan seorang perempuan menurut kacamata beliau. Puisi ini banyak menggunakan bahasa simbol dengan konotasi positif, seperti sekuntum bunga, layu dalam jambangan, kering, air, mentari, ganas, jari, kelopak, angkara, panas, meruncing, maruah, hangus, debu, baja penyubur, menghijaukan panorama dan sebagainya. Kata-kata tersebut dapat membantu kita untuk memahami maksud dari puisi tersebut. Oleh kerana itu, saya menafsirkan bahawa puisi ini adalah puisi yang secara jujur meletakkan taraf seorang perempuan yang sewajarnya.

Andai perempuan itu sekuntum bunga

sering layu dalam jambangan

kering jika waktu tiada air juga mentari

justeru ganas jari menyunting

kelopak terlerai satu persatu

angkara panas kemahuan meruncing

maruah hangus dinoda debu

Dalam rangkap ini penyair memberi tafsiran yang mudah tentang perempuan iaitu seandainya perempuan itu laksana sekuntum bunga maka ia akan sering layu dalam jambangan, memberi gambaran bahawa kecantikan seseorang perempuan itu mudah sirna apabila tiba waktunya atau jika tidak dijaga dengan baik. Jari ganas yang menyunting memberi konotasi bahawa lelaki yang telah mengambil seseorang perempuan sebagai isterinya atau mempunyai anak perempuan harusnya menjaganya dengan penuh santun agar tidak berlaku sebarang perkara yang tidak diingini terhadap perempuan tersebut. Hakikat ini ditandai dengan adanya lelaki yang telah melacurkan isteri atau anak perempuannya demi wang atau mencurahkan asid ke muka isteri atau anak perempuannya lantaran amarah dendam. Frasa ini dipertegaskan dengan bauran aksara ‘angkara panas kemahuan meruncing, maruah hangus dinoda debu’.

Penyair seterusnya mengajak pembaca supaya sedar bahawa perempuan itu adalah insan yang mulia dan anugerah-Nya itu harus disyukuri. Perempuan adalah insan yang diutuskan Allah untuk menjadi penyeri dalam kehidupan kita. Kendati begitu kita harus sedar bahawa perempuan juga mampu mengatasi kemampuan lelaki dalam pelbagai aspek. Lelaki jangan terlalu ego sehingga melupakan kudrat perempuan yang sebenarnya tidak terbatas. Ini semua jelas terungkap dalam rangkap ini:

Andai perempuan itu setitis hujan

bergugus jatuh membasahi bumi

laksana satu kesyukuran yang amat

menyubur segenap ruang

kerana curahannya bumi lebih berseri

kehidupan lebih bererti

namun limpahan yang teramat

gerun menggetarkan naluri manusia bernama lelaki

kerana ganas titik-titik bisa melenyapkan sinar mentari

walau sejuk dingin adalah baja penyubur bumi

curahan yang kau sirami menghijaukan panorama maya ini

Ketika kesedaran kebangsaan dicetuskan di Tanah Melayu pada awal abad ke-20, wacana politik berlangsung di atas atau di luar kebudayaan. Dengan istilah sekarang, nasionalisme yang digerakkan oleh para pemimpin pada waktu itu menghindari setiap kemungkinan identity politics atau politik identiti. Seluruh rakyat dikerahkan untuk bersatu padu dan seakan harus “melupakan” buat sementara waktu asal-usulnya, suku bangsanya, dan kelompok budayanya.

Berlainan dengan nasionalisme di Barat yang berkembang dari kesedaran kebudayaan (berdasarkan Blut and Boden, darah dan tanah), nasionalisme Tanah Melayu yang datang bagaikan puting beliung dari negeri-negeri yang jauh, diharap menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan oleh penjajah asing. Nasionalisme Tanah Melayu datang dengan watak suprakultural.

Dalam antologi BAHTERA II, penyair Badrilla Abdullah, Dr Chew Fong Peng, Fadzly Zainal Abidin, Dr Ibrahim Ghaffar, Mohd Rous Mohd Din, Nawawee Mohammad, Saring Sirad, Kasajiza A S atau Zainal Abas, Zakaria M Z, Zurina Shafie dan ramai lagi telah meluahkan perasaan mereka dalam sajak-sajak yang berbentuk semangat kemerdekaan. Penyair-penyair ini telah berusaha menyanyikan lagu tanah air dan kemerdekaan dalam sajak-sajak mereka, dengan menumpang metafora-metafora yang serba halus dan romantis, yang akan segera mengingatkan pembaca pada hasrat kemerdekaan dan usaha berterusan mengekalkan kemerdekaan.

Badrilla Abdullah merindukan anak bangsanya menjadi warga yang positif melalui karya ‘Aduhai Anak Bangsaku Di Abad 21’ muka surat 70. Penyair bermula dengan paparan pelbagai perbuatan negatif yang telah dilakukan oleh anak bangsanya. Hakikat itu dipertegaskan oleh penyair melalui ungkapan:

Aduhai anak bangsaku di abad 21

yang kian kurang ajar

dibelenggu budaya samseng

membelasah guru, ibu dan bapa

bergaduh sesama sendiri

ponteng sekolah dan menghisap rokok

mewarnai kehidupan remaja

Aduhai anak bangsaku di abad 21

yang semakin sempit pemikiran

menunjuk lagak setiap malam berlumba haram

dan berpasangan berfoya-foya.

Aduhai anak bangsaku di abad 21

yang semakin tidak sayangkan nyawa

hidup sihat sanggup menjadi najis dadah

setiap hari semakin bertambah.

Penyair menjelaskan bahawa pengisian fizikal bukan lagi satu persoalan penting. Apa yang lebih penting adalah pengisian kerohanian di dalam kemerdekaan sebagai asas kemajuan negara. Asas ini kian pudar dan luntur dari hari ke hari. Penyair melihat di sekelilingnya. Di mana-mana sahaja golongan muda tidak menghormati golongan tua, pelbagai perbuatan tidak bermoral dilakukan oleh generasi ini sehingga menimbulkan rasa bimbang suatu hari nanti negara ini akan runtuh disebabkan oleh generasi remajanya rapuh.

Secara keseluruhannya, bahasa yang digunakan oleh penyair mudah difaham, sesuai dengan ajakan beliau kepada anak bangsanya yang rata-rata sekitar umur belasan tahun yang begitu ghairah mempraktikkan budaya luar dan asing yang tidak sejajar dengan kehendak bangsa, agama dan negara. Keseluruhan sajak ini disarati dengan ajakan, nasihat dan doa ke hadrat Allah agar generasi terbabit sedar dan insaf bahawa kejayaan sedang menunggu mereka di hadapan.

Dr Chew Fong Peng melalui sajaknya ‘Malaysia Tanah Airku’ di muka surat 79, bermula dengan sejarah turunnya bendera Union Jack dan digantikan dengan Jalur Gemilang di Dataran Merdeka yang menandakan bermulanya detik kemerdekaan negara kita. Hakikat ini jelas pada rangkap pertama ‘Malaysia Tanah Airku’:

Malam ini turunnya sebuah bendera

Di Dataran Merdeka

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Bergema dengan linangan air mata

Anak-anak peribumi terlepas dari cengkaman bisa

Seekor ular bermata biru mula layu

Dek hentakkan kaki dan serbuan angin

Semangat berkobar-kobar di setiap penjuru

Penyair menggunakan metafora ‘ular bermata biru’ kepada penjajah Barat yang telah menjajah negara kita. Penjajahan tersebut merupakan cengkaman yang amat bisa menusuk ke tubuh warga dan warga memperjuangkannya dengan semangat yang berkobar-kobar.

Merdeka telah dimiliki

Bukan merdeka jika terus bergoyang kaki

Merdeka perlu diisi tanah, air dan udara

Dengan kerja, semangat waja dan idea

Ilmu menjadi kawan, kemahiran menjadi teman

Untuk menghiurp kesegaran

Pagi-pagi yang lalu tanpa malu

Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah

Pada sebuah matahari yang memakai topi

Dalam sains dan teknologi era globalisasi

Pada rangkap ini penyair telah menyedarkan warga bahawa makna kemerdekaan itu harus difahami dengan benar. Kemerdekaan harus diisi bukan hanya duduk bergoyang kaki tetapi dengan semangat yang waja, kerja kuat, jana idea dan sebagainya.

Seterusnya pada rangkap terakhir penyair mengajak generasi merdeka sedar dan faham bahawa kemerdekaan itu laksana permata yang digilap dari perlimbahan yang harus dimartabatkan di puncak lestari dengan pengisian ilmu, iman, penyatuan antara kaum, bersatu dalam mempertahan negara, jangan mudah dirasuk anasir yang boleh menghancurkan negara dan lain-lain lagi.

Fadzly Zainal Abidin, melalui sajaknya ‘Melayu Dan Perjuangan’ di muka surat 84, telah mengajak bangsa Melayu supaya berbangga dengan bangsa mereka iaitu Melayu. Sajak ini terkandung sindiran kepada segelintir orang Melayu yang tidak lagi berbangga dengan bangsanya sendiri. Bangsa Melayu merupakan bangsa termuda di dunia dan merupakan satu bangsa yang amat unik berbanding bangsa lain. Peradaban bangsa Melayu terjadi akibat pertemuan beberapa bangsa di alam Kepulauan Melayu ini sehingga terbentuk satu identiti yang tetap. Daripada pertemuan ini bangsa Melayu tercipta dan mempunyai fokusnya di Tanah Melayu atau lebih dikenali sebagai Semenanjung Malaysia.

Pada zaman lampau, sesiapa sahaja yang menduduki Tanah Melayu dan beragama Islam dipanggil Melayu. Malah orang Arab yang menetap dipanggil Melayu, orang India yang menetap dipanggil Melayu, orang Cina yang menetap dipanggil Melayu. Itulah hasilnya apabila bangsa asing memeluk agama Islam dan digelar sebagai ‘masuk Melayu’. Begitulah uniknya bangsa Melayu namun akhir-akhir ini ada warga negara yang tidak mahu mengiktiraf hakikat ini. Justeru ‘Melayu Dan Perjuangan’ ini dicetuskan penyair.

Wahai sekalian bangsaku... Melayu

Kau harus berbangga dengan bangsamu

Tidakkah kau sedar

Melayu itu bijaksana

Melayu itu berani

Melayu itu murni hatinya

Sejarah telah membuktikan bahawa suatu ketika dulu bangsa Melayu adalah pahlawan di medan juang mempertahankan negara dari pencerobohan penjajah, pelaut yang berani, peneroka yang hebat, kaya dengan susila, kaya dengan adat, kesopanan, falsafah, seni budaya dan sebagainya. Sejajar dengan apa yang telah diungkapkan oleh Tenas Effendy dalam Tunjuk Ajar Melayu: “bunga api jangan dibiarkan merebak membakar negeri.”

Tak perlu kau takut akan kemiskinan

Kerana Melayu itu kaya

Melayu kaya dengan adat

Melayu kaya dengan budi bahasa

Melayu kaya dengan kesopanan

Melayu kaya dengan falsafah

Melayu kaya dengan seni dan budaya

Tak cukupkah itu semua

Dr Ibrahim Ghaffar melalui sajaknya ‘Titah: Resah Seorang Raja’ di muka surat 96, menceritakan tentang gejolak jiwa seorang ayah yang berbangsa Melayu sebagai rakyat peribumi yang dikonotasikan sebagai raja tatkala memikirkan tentang tanah tumpah darahnya yang kian dikuasai oleh bangsa lain. Penyair bijak mengggunakan metafora Raja bagi mewakili orang Melayu. Betapa bangsa Melayu sebenarnya adalah Raja di negeri ini begitu bimbang dan resah setelah pelbagai pihak mempertikaikan hak-hak mereka malah ada usaha-usaha ke arah memansuhkan hak-hak yang telah termaktub dalam Perlembagaan negara walaupun telah dipersetujui bersama sebelum ini.

‘Titah: Resah Seorang Raja’ bermula dengan:

Daun-daun waktu....

berguguran satu-persatu

menutup wajah bumi tersipu malu

bila bukit-bukau kita semakin sendu

dan daulat pun tidak lagi sesetia dulu

mohon mengimbau bait titah ke bawah Duli:-

“Ke mana lagi beta hendak pergi,

pulau mana lagi akan beta huni

bila habis hakis tanah negeri ini

hingga merdeka tidak bererti lagi.”

Demikian amat resahnya Ayandanda....

sepanjang hayat yang sempat terduga

dan kedukacitaan itu semadi bersama.

Rangkap ini jelas memperlihatkan betapa resah jiwa seorang ayah tatkala melihat negaranya kian diancam dari pelbagai sudut sehinggakan kesetiaan, kehormatan, malah kedaulatan raja-raja juga telah dihina. Orang Melayu walaupun berada dalam jumlah majoriti, sebenarnya diancam dengan bahaya sebagai kumpulan minoriti yang mungkin akan ditindas dalam tanah air sendiri sekiranya tidak diperbetulkan dalam kadar segera. Penyair menghimbau kembali kepada sejarah melalui diski ‘angin Bukit Melawati membawa erti, abjad rindu moyang poyang yang pergi, sekian kurun mentelaah warkah jatidiri’ yang membawa makna bahawa kita harus kembali kepada sejarah dan menerima hakikat tersebut.

Sewaktu-waktu begini

angin Bukit Melawati membawa erti

abjad rindu moyang poyang yang pergi

sekian kurun mentelaah warkah jatidiri

maka bertitah seorang Raja yang berani:-

“Beta kurang berkenan

Kiranya Taman Cahaya ini dipindahkan,

Syahdan mencabut pohon kedaulatan

Dari bentala yang mutlak di pertuan.”

Mandat pun menujah arah jalan sesat

menjerat retorik legenda yang menghambat

dan keaiban memalit wajah-wajah sahabat.

Hakikatnya orang Melayu tidak mahu hak mereka diganggu-gugat. Setiap orang di Tanah Melayu mempunyai hak-hak dan kewajipan yang sama, namun, rakyat yang berketurunan Melayu mempunyai hak yang istimewa berbanding bangsa lain di Tanah Melayu. Hak-hak istimewa orang Melayu ini bukan merupakan peraturan baru, malahan hak-hak ini telah tercatat dalam Perjanjian Persekutuan Tanah Melayu 1948, dan perjanjian-perjanjian ini telah pun diamalkan di negeri-negeri Melayu yang tidak bersekutu sebelum perang lagi. Menafikan hak-hak istimewa orang Melayu bermakna tidak menghormati kesepakatan yang telah berlaku antara kaum sebelum ini. Kini bukan saja hak-hak istimewa bangsa Melayu dipertikaikan malah kedaulatan Raja-raja Melayu juga telah cuba diganggu-gugat. Penyair telah memaparkan kegelisahan ini dalam rangkap berikut:

Segenap waktu berlalu

Bagai garis pemisah; Kini dan masa lalu

Baginda juga rawan dilanda resah silu,

Takhta tidak lagi dijunjung tinggi

setia hanya hiasan di hujung mimpi

dan istiadat cuma episod di Balairongseri.

Titah Baginda seraya duka nestapa

bilamana kata Memanda di persada kata,

sudahnya Taman Cahaya itu kembali jua ke kita.

Akhirnya penyair mengharapkan agar orang Melayu terus berjuang memakmurkan tanah tumpah darah ini. Orang Melayu harus berjuang untuk mengekalkan hak istimewa mereka sebagaimana yang telah dipersetujui bersama sebelum ini. Begitu yang penyair nukilkan dalam rangkap terakhir ini:

Merdeka menjadi lebih bererti

bila berpijak di bumi sendiri

sekepal tanah yang kita warisi

dibangun menjadi negeri

dan kedaulatan tertanam di istana hati.

Merdeka – kan milik kita semua

seakan jasad dan nyawa.

Haji Salleh pernah berkata bahawa puisi bukan sahaja merupakan kata-kata terpilih dalam susunan terbaik tetapi juga merupakan paparan pemikiran yang bersalut perasaan. Apakah pemikiran dalam puisi? Hal ini telah banyak kali diperkatakan oleh pemikir sastera. Sekadar untuk mengingat kembali, harus difahami bahawa pemikiran dalam penulisan adalah gagasan idea tentang sesuatu yang hendak kita tulis. Tiada seorang pun menulis dalam kekosongan. Semuanya ada niat atau gagasan yang hendak dinyatakan. Besar atau kecil pemikiran itu menjadi soal kedua.

Begitu juga dengan penyair Zurina Shafie melalui sajaknya ‘Bersatulah’ di muka surat 241 ini. Dalam sajak ini, dengan gaya bahasa yang bersahaja penyair mengajak kita semua bersatu.

Bersatulah

bercerai kita roboh

begitulah katanya

begitulah kita fikirkan sekian lamanya

tetapi apa yang telah kita laksanakan

jangan hanya ucapan di bibir saja

tetapi hati lain bicaranya

lain pula laksananya

menikam tanpa usul periksa

meludah tidak kena gayanya

bersuara tidak bertempat

umpat dan nista menjadi-jadi

sampai bila sudahnya

bersatulah demi kesejahteraan

demi bangsa dan negara

Dengan bahasa yang mudah juga penyair menyatakan bahawa slogan ‘bersatu teguh bercerai roboh’ telah sekian lama dilaungkan namun tidak ada pelaksanaan yang konkrit ke arah tersebut. Dengan sinis pula penyair menyatakan bahawa penyatuan bangsa tidak akan berlaku jika masyarakat masih lagi memfitnah sesama sendiri, biadap dalam mengeluarkan suara, maki hamun, umpat cela dan sebagainya. Akhirnya dengan penuh harapan penyair mengajak supaya kita semua bersatu demi keutuhan bangsa, agama dan negara.

Begitulah serba ringkas tugasan memaknakan 10 buah sajak atau puisi dari antologi BAHTERA II. Saya memohon ampun dan maaf sekiranya ada sebarang kekhilafan yang tidak disengajakan. Yang baik itu datang dari Allah Azzawajalla dan yang buruk itu dari hamba-Nya yang serba kerdil dan daif ini.

Wabillahhitaufik, walhidayah, wassalam....

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ASMAUL HUSNA