Isnin, 15 November 2010

Sunan Drajat Berdakwah Dengan Tembang Dan Gamelan

SYED MAHADZIR SYED IBRAHIM


DI ANTARA para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda beliau dikenali sebagai Raden Qasim, Qosim, atau Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskhah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Mahulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat.


Dia adalah putera Sunan Ampel dari perkahwinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putera Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperisterikan oleh Raden Patah, dan seorang puteri yang disunting oleh Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tidak banyak naskhah yang mengungkapkan jejaknya.


Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, beliau diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.


Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihentam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, beliau ditolong ikan cucut dan ikan talang - ada juga yang menyebut ikan cakalang.


Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berjaya mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenali sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh ketua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.


Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, puteri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.


Jelak, yang mulanya cuma dusun kecil dan terpencil, lambat-laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim berpindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan bebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamakan Desa Drajat.


Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategik sebagai pusat dakwah Islam. Beliau lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenali penduduk sebagai daerah angker.


Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan tersebut. Mereka merasuk penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan selesai, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membina permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektar.


Atas petunjuk Sunan Giri, melalui mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamakan Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.


Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga meninggal dunia pada tahun 1522. Di tempat itu kini dibina sebuah muzium bagi menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat - termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.


Sunan Drajat terkenal dengan kearifan dan kedermawanannya. Beliau menurunkan kepada para pengikutnya kaedah tidak saling menyakiti, baik melalui perkataan mahupun perbuatan. ‘Bapang den simpangi, ana catur mungkur,’ demikian petuanya. Maksudnya: ‘jangan mendengar pembicaraan yang memburuk-burukkan orang lain, lebih-lebih lagi melakukan perbuatan itu.’


Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara iaitu melalui pengajian secara langsung di masjid atau langgar, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren, memberi fatwa atau petua dalam menyelesaikan suatu masalah, dan melalui kesenian tradisional.


Sunan Drajat kerap berdakwah melalui tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, beliau juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Empat asas ajaran Sunan Drajat adalah:


1. Paring teken marang kang kalunyon lan wuta;

2. Paring pangan marang kang kaliren;

3. Paring sandang marang kang kawudan;

4. Paring payung kang kodanan.


Maknanya:


1. Berikan tongkat kepada orang buta;

2. Berikan makan kepada yang kelaparan;

3. Berikan pakaian kepada yang telanjang;

4. Berikan payung kepada yang kehujanan.


Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Beliau kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindung dari gangguan makhluk halus yang kononnya merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai solat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan solat maghrib.


‘Berhentilah bekerja, jangan lupa solat,’ katanya dengan nada memujuk. Beliau selalu melawat warga yang sakit, dengan mengubatinya menggunakan ramuan tradisional dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga (leng sanga maknanya lubang sembilan) di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika beliau merasa letih dalam suatu perjalanan. Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis ubi hutan.


Ketika Sunan kehausan, beliau berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas ubi itu memancar air bening - yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskhah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengahwini Retnayu Condrosekar, puteri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.


Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada tahun 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, isteri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, puteri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.


Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘saling memuridkan.’ Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Beliau juga biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.


Bekas tempat tinggal Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi.


Di sana dibina sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskhah Badu Wanar dan Naskhah Drajat mengisahkan bahawa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikurniai tiga putera. Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada juga kisah yang menyebutkan bahawa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikurniai empat putera. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.


Tidak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga Babadipun Para Wali mencatatkan: ‘Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga...’ Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim sekeluarga kononnya berangkat ke Gresik. Jika benar, di manakah keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskhah kuno untuk menjawabnya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan