(Cerpen ini telah disiarkan dalam majalah Sinar Rohani terbitan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dan telah diantologikan dalam Insyiqaq)
SYED MAHADZIR SYED IBRAHIM
MALAM menggantung sepi di tiap tiang-tiang pagarnya, gelap yang menyeramkan menjaga pintu gerbang dan keheningan menyeruak masuk ke dalam bilik Darma Setia yang sedang membaca buku yang hampir lapuk ditelan masa. Keasyikan membaca membuat Darma Setia tidak memerhatikan rembulan yang tersenyum penuh makna melihatnya lewat jendela yang terbuka mengundang hasrat keinginan sang malam.
Rembulan perlahan mendekati Darma Setia lewat cahayanya yang indah membelah kegelapan dan duduk di sebelah Darma Setia menjadi bayang-bayang dan ikut membaca buku tua warisan sejarah penyair cinta. Darma Setia menoleh dan mendapati bayang rembulan menjelma bersanding dengannya. Perlahan dia bangkit menyentil pegal yang hinggap dan berjalan menuju jendela biliknya yang terbuka memaluk malam.
Darma Setia menatap rembulan dan hatinya berbicara pada rembulan lewat sinarnya yang indah kemilau dibias permukaan kolam malam.
“Rembulan, katakan padaku kenapa kau tidak mendekatiku dan memeluk jiwaku yang rindu siraman pesonamu?”
“Kerana aku bukanlah jiwa seperti dirimu, aku adalah gambaran pesona wajah keindahan, dan aku hanya mampu memberi pesonaku dengan wajah indahku.”
“Rembulan, pada siapa kau abdikan pesonamu yang tidak terukur dengan balas?”
“Aku abdikan pesonaku pada jiwa-jiwa yang mengerti keindahan dan mampu merasakan pesona yang kutebarkan.”
Darma Setia membalikkan tubuh dan memandang peraduan yang menatapnya lembut namun membisu.
“Hai peraduan setiaku, apa yang kau simpan dalam kebisuanmu di setiap siang dan malam?”
“Tuanku, kebisuan adalah rumahku, dan aku memberikan kasih sayang seperti musim, aku akan menyayangimu hingga tubuhku menipis, dan aku sediakan musim yang lain menggantikanku, maka biarkan kuabdikan diriku padamu dan ikhlaslah menerima pengabdianku.”
Darma Setia membelai peraduannya perlahan dengan kelembutan hatinya. Kemudian dia membaringkan tubuhnya menatap langit-langit bilik yang tersenyum hangat menyambut pandang matanya.
“Langit-langit bilik, apa yang engkau lakukan di situ atas diriku?”
“Tuanku, aku di sini memetik harpa malam dan melantunkan lagu ninabobo mengiringi tidurmu.”
Tubuh yang digerayangi lelah terbaring memberikan dirinya pada pelukan peraduan yang dengan ikhlas menerima tubuh yang tebal dibalut keinginan. Perlahan tidak disedari kelopak mata melangkah menuju muaranya. Dan gerbang bawah sedar terbuka mengundang derit-derit memanggil merinding yang tertelungkup di hujung gelap.
Cahaya menyeruak masuk mendorong gelap hingga terpental ke celah-celah dinding malam.
Sepasang kaki tegak jiwa Darma Setia berdiri di ambang gerbang yang tidak sempurna terbuka. Melangkah perlahan dengan penuh perasaan, telapak kakinya menyapa ramah wajah-wajah lantai yang berbaris menyambut tubuh impian.
Langkah lembut menyapa tiap barisan wajah-wajah berbinar, hingga sebuah singgahsana melambaikan tangan pada tubuh impian. Dengan ketenangan bak permukaan telaga tanpa jamah tubuh impian melangkah dan duduk di singgahsana Kerajaan Mimpi.
Lampu-lampu mulai membuka mata dan memandang permaidani biru yang membentang. Satu per satu tubuh yang lain datang dan menyapa lembut permaidani biru yang membentang. Menunggu sabda dari tubuh impian raja Kerajaan Mimpi.
Bidadari-bidadari datang membawakan cawan-cawan berisi bening air kasih sayang dan menyajikan pada tubuh-tubuh yang menunggu.
“Wahai jiwa-jiwa kehausan, teguklah air kasih dari cawan-cawan bidadari mimpi, agar retak-retak di atas petak hatimu menyatu.”
Genderang kehausan ditabuh dan iramanya menggugah hasrat hati meneguk tirtamerta yang ditawarkan oleh gema menggugah sukma. Tubuh-tubuh berwajah tegang memandang tubuh impian menunggu sari kata berselancar di laut jiwa mereka.
Dan terdengar suara menggema membias ke telinga-telinga hati; “Denting suara harpa malam menggugah niat bunga-bunga malam menebarkan undangan ke segenap penjuru alam bawah sedar. Dengan kesenduan yang mengharu menyentuh rongga-rongga kekalutan. Menyanyikan lagu harapan dan angan-angan yang terbersit di alam kesedaran. Tentang sebuah rancangan yang belum terlaksana, tentang seikat janji yang belum ditepati, tentang masa hadapan yang dirindukan. Ada tanya yang tersimpan rapi dalam kotak rahsia hati, dan kuncinya mengapit bibir yang tidak kuasa mencibir.”
Hening sejenak menaungi dunia mimpi; “Kerinduan terduduk tersesat belantara Cinta, tidak menemukan gada-gada pengarah lesak panah yang dibentangkan. Kecintaan pada Cinta yang terpateri di dinding hati menutup pandangan pada dunia yang lain, dunia yang tidak ada Cinta di dalamnya. Dunia yang hanya ada rasa liar berlari-lari dan menggenggam mangsa tanpa denda tertimpa. Dunia yang dipenuhi wajah-wajah patung bermuka emas.”
Beduk ditabuh gema kalimat Ilahi menembus alam memenuhi semesta raya. Dan tubuh impian menggelepar terlempar ke alam kesedaran, sementara sosok-sosok tegang terlena dalam belaian keheningan diselimuti dingin menuntun tangan menarik kehangatan.
Sosok tubuh terjaga menyempurnakan pandangan menyapu ruangan. Jerat-jerat keengganan perlahan terlepaskan dan hati menuntun langkah menuju padasan yang berisi air penyucian.
Doa-doa menyembur teratur dari bibir berpengetahuan, syukur terucapkan dan harapan dibiaskan. Bersyukur pada kurnia Ilahi akan sebuah ‘jidat’ yang mampu sempurna bersujud bicara pada-Nya.
Senyum pagi belum kelihatan tertutup cadar-cadar kegelapan yang meremang. Segunduk gundah menonjol di permukaan hati yang menyempitkan tulang-tulang dada hingga menunduk pun sesak masih terasa. Gundukan sebesar biji sawi namun mencemarkan air kelegaan yang memenuhi telaga hati. Hati seorang Pencinta tertimpa biji sawi yang dibawa angin kepiluan yang bertiup dari arah yang tidak terkata.
Senyum teredam, hasrat melepas dahaga tercekat. Mata hati menatap ruang-ruang jiwa yang tanpa angin bertiup, tanpa embun pagi hari, tanpa canda mentari siang hari, hanya mimpi yang menghantui.
Kokok ayam jantan bersahut-sahutan menandakan alas kaki dipakai, agar sewaktu berjalan menuju pancuran tanah yang terpijak tidak terenggut keperawanannya. Berjalan dengan hati-hati agar semak-semak belukar tidak terbangun dari tidurnya dalam selimut dingin yang menipis.
Dengan bahasa selembut bahasa keraton Jawa, Darma Setia menyapa pancuran air yang tidak pernah berhenti memberi jalan pada mata air untuk memberikan manfaat kepada penggunanya. “Selamat menyongsong mentari wahai jiwa memberi jalan kehidupan.”
Dengan dahaga yang menempel di kulitnya yang menyimpan endapan-endapan debu, Darma Setia menyerahkan tubuhnya untuk disucikan dari kotoran-kotoran malam. “Wahai jiwa yang menyimpan asa, lembut sapamu menggugah hatiku mendengungkan doa untuk perjalananmu, terimalah sejuk segar tuanku yang bersumber dari inti gunung keselamatan.”
Endapan-endapan yang menempel pada kulit sang pencinta luntur oleh kesejukan air pancuran yang bersumber dari inti gunung keselamatan. Sebelum meninggalkan tempat permulaan perjalanan, Darma Setia menuliskan sebait puisi pada daun yang merelakan tubuhnya untuk menyimpan pahatan sang pencinta.
“Bayanganmu masih mengikutiku hingga aku sampai di sini sewaktu kurasakan siraman airnya, aku teringat nasihatmu sewaktu kulihat bening airnya, aku teringat bola matamu sewaktu kupandang mentari pagi, aku teringat senyummu dan setiap hari kuingat itu.”
“Terima kasihku pada daun yang memberikan tubuhnya untuk kulukai dengan kuku jariku,”
Dengan langkah laksana arjuna, Darma Setia meninggalkan prasasti yang baru saja dia buat. Setiap langkahnya diikuti oleh semerbak wangi air pancuran hingga semak-semak menunduk hormat dan pohon-pohon memberi salam.
Rambutnya yang lembut terurai panjang bagai perawan masih basah oleh air kehidupan yang meresap ke dalam otaknya dan memberikan wacana baru tentang sebuah erti perjalanan. Perjalanan yang hingga kini masih dia lakukan untuk mencari erti kesejatian. Sebuah tanda tanya melingkar menjadi rantai tidak kasatmata di lehernya.
Terasa ada yang menggenggam tangannya sewaktu dia mulai meninggalkan persinggahan sementara. Sedikit keraguan menempel di lehernya dia menengok dan melihat tubuh bayangan berjalan seiring dengannya sambil memegang tangannya. Bayangan seorang wanita ayu yang sangat dikenalinya. Bayangan yang selalu melintas dalam benaknya di setiap dia disapa diam. Bayangan Nilam Ayu yang tersenyum penuh makna.
Kebahagiaan namun sekali gus kesedihan, kebahagiaan berpelukan dengan kesedihan dalam hatinya. Kebahagiaan memeluk dan memandang jauh ke awan yang berarak sementara kesedihan menyandarkan kepalanya di dada kebahagiaan yang tidak mampu mengertikan perpaduan. Perpaduan yang mengiris hati menjadi lapis-lapis yang setiap lapisnya berbicara tentang ketidakberdayaan. Perpaduan yang juga menata lapis-lapis menjadi utuh kembali dan bicara tentang ketegaran.
Langkah kaki terayun manja dalam belaian kesejukan pagi yang menghantar keindahan, membuka jalan dengan bunga bagi jiwa pencinta yang disanjung bunga-bunga.
Bayangan ayu tidak pernah layu selalu bersanding dengan bayangan Pencinta yang mengikuti jejak waktu yang menuntun langkahnya tiada tuju. Pengembaraan jiwa tiada batas cakerawala mencari jejak langkah kaki pertama yang dia tinggalkan di suatu gunung saksi. Mengikuti arah mata angin menuju awal langkah kemudian berhenti menulis kisah, dan tuju itu masihlah teramat jauh dari jejak terakhir, masih belum tergambar dalam kanvas jiwa, belum terbayang dalam angan dan mimpi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan